Rajawali Emas Chapter 06

Selain berilmu tinggi, Giam Kin ini juga memiliki kepandaian hebat, yaitu dengan sulingnya ia dapat memanggil ratusan ekor ular yang dapat ia perintah untuk menyerang musuhnya. Juga ia pandai sekali dalam hal penggunaan racun ular yang berbahaya.

"Ehh, kiranya ada Thai-san Sian-li di sini!" kata Kim-thouw Thian-li. "Pantas saja tuan dan nyonya rumah begini tabah!"

Giam Kin memandang dengan mata melongo dan penuh kekaguman kepada wajah yang disinari bulan yang sudah muncul sepenuhnya di langit, kemudian dia pun berseru sambil menarik napas panjang berkali-kali, "Aduh... aduh... bidadari baju merah dari Thai-san... hemmm, makin cantik jelita saja. Bidadari kahyangan pun tak akan menang...!" Kemudian dia menoleh kepada Hek-hwa Kui-bo. "Locianpwe, kalau sekali ini dapat menangkapkan bidadari merah ini untukku, aku berjanji akan menyembah seratus kali kepadamu."

Hek-hwa Kui-bo mengibaskan tangannya. "Huh, laki-laki mata keranjang benar kau ini!"

Tentu saja hati Li Cu mendongkol bukan main mendengar omongan-omongan kotor itu. Akan tetapi dia memandang rendah kepada Giam Kin dan Kim-thouw Thian-li, maka dia tidak pedulikan mereka dan langsung menghadapi Hek-hwa Kui-bo sambil menudingkan jarinya.

"Hek-hwa Kui-bo, kau tergolong tingkatan tua yang sudah mendapat nama besar sebagai tokoh utama dari selatan. Kenapa sekarang kau melakukan tindakan yang amat rendah, mengancam enci-ku dan suaminya, lalu datang membawa dua orang manusia hina dina ini?"

Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek kemudian dia berkata, suaranya mengandung sikap memandang rendah, "Kau bocah masih ingusan berani bicara begini kepadaku. Ayahmu sendiri kiranya tidak sekurang ajar engkau! Muridku masih ingat akan permusuhan lama, bersama Giam-kongcu hendak membikin perhitungan dan pelunasan hutang-hutang lama. Aku hanya menonton kalau-kalau ada bocah ingusan lancang dan ikut-ikut campur!"

"Siluman betina tua bangka! Kau dan antek-antekmu hendak menghina Suci dan cihu-ku? Hemmm, selama di sini masih ada Cia Li Cu, jangan harap kalian akan dapat berlaku sewenang-wenang!" bentak Li Cu sambil melintangkan pedangnya.

"Locianpwe, kenapa layani dia bicara? Pegang saja, ringkus dan berikan kepadaku habis perkara!" kata pula Giam Kin sambil tersenyum-senyum. Matanya yang sipit memandang kepada Li Cu dengan kurang ajar.

"Giam-ko, dari pada banyak cerewet lebih baik turun tangan. Kau bereskan yang laki-laki, biar aku mampuskan budak she Lee ini!" kata Kim-thouw Thian-li yang tidak suka melihat Giam Kin tergila-gila kepada Li Cu. Giam Kin tertawa mengejek ketika ia mendekati Thio Ki.

Suami isteri ini maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi mereka tidak takut. Dengan kemarahan meluap mereka lalu menerjang maju, Thio Ki menyerang Giam Kin sedangkan Lee Giok memutar pedang menyerang Kim-thouw Thian-li. Juga Cia Li Cu yang maklum bahwa menghadapi tiga orang jahat itu tidak perlu banyak bicara lagi, lalu menggerakkan pedang di tangannya menerjang Hek-hwa Kui-bo.

Sambil tertawa-tawa Giam Kin menyambut serangan Thio Ki. Raja Ular Kecil ini memang amat tinggi kepandaiannya. Serangan pedang dari Thio Ki ia hadapi dengan permainan suling ularnya yang aneh gerakan-gerakannya. Tenaga lweekang-nya jauh lebih kuat dari pada Thio Ki sehingga setiap kali pedang bertemu suling, tangan Thio Ki tergetar dan pedangnya hampir terlepas.

Namun Thio Ki bermodal kenekatan dan menerjang terus sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Betapa pun juga dia adalah seorang murid Hoa-san-pai yang baik, juga pernah mendapat bimbingan dari Lian Bu Tojin sendiri. Karena itu, setelah ia bertempur dengan nekat Giam Kin tidak berani main-main lagi.

Juga Kim-thouw Thian-li menghadapi perlawanan sengit dan nekat dari Lee Giok. Seperti halnya suaminya, Lee Giok mendapat lawan yang lebih lihai darinya. Kim-thouw Thian-li benar-benar hebat kepandaiannya. Dengan ilmu silatnya dari golongan hitam yang penuh muslihat dan keji, ditambah Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut yang sebagian telah dia warisi pula dari Hek-hwa Kui-bo.

Ketua Ngo-lian-kauw ini benar-benar membuat Lee Giok tak berdaya. Senjata di tangan Kim-thouw Thian-li adalah sebatang golok di tangan kanan dan sehelai selampai merah di tangan kiri. Sapu tangan atau selampai merah inilah yang justru amat berbahaya karena mengandung pelbagai racun jahat.

Akan tetapi karena ilmu pedang Lee Goat juga bukan ilmu pedang sembarangan, akan tetapi ilmu pedang yang ia warisi dari gurunya, Si Raja Pedang, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah sehingga bagi Kim-thouw Thian-li juga tak begitu mudah untuk mendapatkan kemenangan dalam waktu singkat.

Yang paling ramai adalah pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dengan Cia Li Cu. Harus diketahui bahwa nama Hek-hwa Kui-bo untuk daerah selatan merupakan nama seorang jagoan kelas satu yang tak pernah terkalahkan. Ilmu silatnya tinggi sekali.

Pada mulanya, sebetulnya ilmu kepandaian Hek-hwa Kui-bo bersumber kepada keahlian tenaga Thai-yang. Sesudah kepandaiannya ini diturunkan kepada Kim-thow Thian-li yang menjadi Ketua Ngo-lian-kauw, maka perkumpulan itu pun turut terkenal dengan keahlian tentang Thai-yang pula.

Belum lama ini dia sudah dapat merampas kitab Im-sin Kiam-sut dan telah menguasainya. Sayang, tenaganya bersumber kepada Yang-kang, sedangkan Im-sin Kiam-sut bersumber kepada Im-kang, maka ilmu pedangnya yang paling akhir dan paling hebat ini pun tidak bisa mencapai puncaknya. Walau pun demikian, Ilmu silat aliran selatan sudah dikuasai Hek-hwa Kui-bo, ditambah lagi pengalamannya yang puluhan tahun, maka kehebatannya bukan main.

Di lain pihak, lawannya adalah Cia Li Cu, puteri tunggal Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan yang memiliki ilmu pedang keturunan dari pendekar wanita Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu.

Harus diketahui bahwa ilmu pedang keturunan dari Ang I Niocu disebut Sian-li Kiam-sut sesungguhnya masih satu sumber dengan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut dan Yang-sin Kiam-sut, karena kesemuanya itu asalnya adalah ilmu-ilmu ciptaan dari Pendekar Sakti Bu Pun Su.

Sebagai puteri tunggalnya, tentu saja Cia Li Cu telah mewarisi kepandaian ayahnya, maka biar pun usianya masih amat muda, namun ilmu pedangnya sudah hebat sekali. Kini menghadapi permainan pedang Im-sim Kiam-sut dari Hek-hwa Kui-bo, ia dapat melayani dengan baik. Hebat sekali pertandingan antara nenek dan gadis remaja ini.

Hek-hwa Kui-bo mempergunakan sebatang pedang dan dibantu pula dengan sapu tangan suteranya yang beraneka warna itu, yang kehebatannya tak kalah oleh pedang di tangan kanannya. Akan tetapi Cia Li Cu justru mempergunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh, yakni pedang pusaka Liong-cu-kiam yang pendek.

Di dalam cerita Raja Pedang sudah diceritakan bahwa Liong-cu Siang-kiam sebetulnya merupakan sepasang pedang, yang sebatang panjang dan ada ukiran huruf ‘Jantan’, sedangkan yang ke dua pendek dengan ukiran huruf ‘Betina’. Tadinya sepasang pedang itu berada di tangan mendiang Lo-tong Souw Lee, seorang pendekar tua yang pernah diangkat guru oleh Tan Beng San, akan tetapi kemudian terjatuh ke dalam tangan Cia Li Cu.

Pada pertemuan puncak di Thai-san, sepasang pedang itu dapat dirampas kembali oleh Tan Beng San, akan tetapi kemudian oleh kakak kandungnya, Tan Beng Kui, sepasang pedang itu diminta atau dipinjam karena pedang-pedang itu menjadi lambang perjodohan antara dia dan Li Cu. Beng San memberikan pedang-pedang itu sebagai pinjaman selama tiga tahun.

Sekarang yang berada di tangan Cia Li Cu dalam menghadapi Hek-hwa Kui-bo adalah pedang yang pendek, yaitu yang Betina. Pada jaman dahulu pedang ini adalah pedang pusaka pegangan Pendekar Bodoh, maka hebatnya bukan kepalang. Selain tajam, juga keras dan dapat mematahkan segala macam baja, lagi pula ampuhnya bukan kepalang.

Dua orang ini yang termasuk orang-orang pemilik ilmu silat tinggi, bertempur sampai tidak kelihatan lagi orangnya. Sinar pedang mereka bergulung-gulung membungkus bayangan tubuh mereka sehingga yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang di antara bayangan merah dari pakaian Li Cu diselingi bayangan pelangi beraneka warna yang ditimbulkan oleh gerakan sapu tangan sutera di tangan Hek-hwa Kui-bo!

Setelah ratusan jurus berlangsung cepat sekali antara Hek-hwa Kui-bo dan Cia Li Cu, keduanya merubah permainan, kini tidak secepat tadi, bahkan sangat lambat. Gerakan mereka seperti orang berlatih saja, lambat-lambat sekali sehingga mudah diikuti pandang mata siapa pun juga.

Akan tetapi jangan salah sangka, pertempuran yang berjalan lambat ini sesungguhnya malah merupakan pertandingan yang jauh lebih hebat dari pada tadi ketika mereka lenyap dibungkus gulungan sinar senjata mereka. Pertempuran lambat-lambat ini justru berupa pertandingan mati-matian di mana kedua orang itu mengeluarkan seluruh kepandaian asli mereka disertai tenaga dalam yang paling kuat untuk merobohkan lawan.

Beberapa kali senjata mereka hampir mengenai tubuh lawan dan setiap kali pedang Li Cu bertemu dengan sapu tangan sutera, terjadi getaran hebat dan dua macam senjata itu seakan-akan menempel dan saling sedot.

Setelah bertempur seperti ini keduanya harus mengakui bahwa mereka masing-masing memiliki keunggulan. Li Cu ternyata memiliki ilmu silat yang lebih murni, sebaliknya dalam hal tenaga dalam, ia kalah kuat oleh nenek tokoh persilatan dari selatan itu.

Karena merasa sangat penasaran, mendadak Li Cu melakukan tekanan dengan pedang Liong-cu-kiam, menggores ke arah ulu hati lawan sambil mengeluarkan suara dari perut. Pedangnya perlahan-lahan sekali melakukan gerakan goresan dari kiri ke kanan, sedikit memutar ke atas.

Bukan main hebatnya serangan ini karena dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Jangan kira bahwa serangan yang amat lambat ini akan dapat dihindarkan dengan mengelak, karena yang berbuat demikian dan mengira bahwa serangan itu amat lambat, maka akan celakalah. Pukulan yang penuh mengandung hawa karena daya tenaga dalam itu biar pun lambat namun angin pukulannya saja sudah cukup untuk mencelakakan musuh, apa lagi mempunyai perubahan yang bukan main banyak lagi berbahaya. Ujung pedang di tangan Li Cu kelihatannya meluncur lambat, namun ujungnya tergetar menyilaukan dan sukar dilihat bagaimana perkembangan selanjutnya.

Hek-hwa Kui-bo tentu saja maklum akan kehebatan serangan ini sungguh pun dia tidak tahu bahwa gerak tipu ini adalah jurus Sian-li-hut-si (Sang Dewi Mengebutkan Kipas) dan tidak tahu pula apa pecahannya. Ia hanya tahu bahwa kali ini lawannya yang muda itu mengeluarkan gerak tipu yang amat berbahaya.

Ia tidak berani menangkis dengan pedangnya, takut kalau-kalau pedangnya biar pun juga pedang yang ampuh, tidak akan kuat menandingi keampuhan Liong-cu-kiam. Maka ia lalu menggerakkan senjatanya di tangan kiri yaitu sapu tangan sutera yang beraneka warna itu.

Jangan memandang rendah sapu tangan sutera yang halus lembek dan lebar ini. Biar pun kelihatannya beraneka warna dan indah seperti pelangi serta harum pula baunya, entah sudah berapa banyak nyawa diantarkan pulang oleh sapu tangan ini! Biar pun demikian halus dan lembek, namun sekali menotok jalan darah dengan ujung sapu tangan, atau sekali mengebut kepala orang, Hek-hwa Kui-bo sanggup membunuh orang itu!

Pedang Liong-Cu-kiam terlibat oleh sapu tangan itu, tak dapat ditarik kembali sedangkan pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo secara tiba-tiba sekali menyambar dari kanan ke kiri menyerampang sepasang kaki Li Cu. Jika terkena sambaran ini, kiranya kedua kaki Li Cu sebatas lutut akan menjadi buntung. Pedang di tangan Li Cu masih terlibat sapu tangan sedangkan sekarang lawannya menyerang dengan pedang, sungguh keadaan yang amat sulit.

Namun, gadis ini biar pun masih muda belia, kepandaiannya sudah hebat sekali. Melihat gerakan lawan, sebelum pedang bergerak ia sudah tahu bahwa ia akan diserang bagian kakinya. Li Cu maklum bahwa ketika menggerakkan pedang menyerangnya, tentu tenaga tangan kiri Hek-hwa Kui-bo yang memegang sapu tangan itu akan berkurang.

Maka ia mengerahkan tenaga dikumpulkan di tangan kanan, dan pada saat pedang lawan menyambar ke arah kedua lututnya, gadis perkasa ini menggenjot kakinya meloncat ke atas sambil membetot pedangnya. Gerakan ini selain cepat dan tidak terduga, juga amat kuatnya.

"Brettt!"

Sapu tangan yang melibat pedang itu terputus menjadi dua dan kedua kaki Li Cu selamat, terluput dari pada ancaman pedang yang ganas tadi!

"Kurang ajar, kau merusak sapu tanganku?" Hek-hwa Kui-bo membentak marah.

Akan tetapi Li Cu tak memberi kesempatan lagi padanya. Gadis ini segera mengerahkan ginkang-nya dan melakukan serangan bertubi-tubi mengandalkan kegesitan dan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Pedang tunggal di tangannya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang, sinarnya berkeredepan dan bergulung-gulung bagai mengeroyok Hek-hwa Kui-bo.

Nenek ini juga marah sekali. Meski pun sapu tangannya tinggal sepotong, namun tidak dibuangnya dan masih ia pergunakan untuk membantu pedangnya melakukan serangan-serangan balasan.

Tiba-tiba Li Cu terkejut mendengar keluhan Thio Ki dan melihat orang muda itu terhuyung-huyung. Ternyata dadanya telah kena dihantam oleh suling di tangan Giam Kin sehingga pedang yang dipegangnya terlepas dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sambil tertawa-tawa Giam Kin menendang lututnya maka robohlah Thio Ki.

"Bunuh dia, bikin mampus saja!" seru Kim-thouw Thian-li girang.

Giam Kin masih tertawa-tawa ketika ia meloncat maju dan menusukkan sulingnya ke arah kepala Thio Ki. Pasti akan berlubang kepala orang muda itu kalau terkena tusukan ini. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih diikuti bayangan merah.

"Trangggg!"

Ujung suling Giam Kin patah terbabat pedang Liong-cu-kiam yang tadi cepat digerakkan oleh Li Cu dalam usahanya menolong nyawa Thio Ki! Giam Kin terkejut, cepat meloncat mundur dan segera Hek-hwa Kui-bo yang tadi ditinggalkan Li Cu sudah mengejar pula, lalu saling serang dengan gadis perkasa itu.

Thio Ki yang sudah terluka parah tubuhnya bergulingan di atas genteng, terus terguling ke bawah dan baiknya tidak sampai terjatuh dari atas, akan tetapi terhenti oleh wuwungan sebelah bawah.

"Enci Kim Li, jangan kau bunuh Si Manis itu! Biar kau berikan kepadaku...ha-ha-ha!" Giam Kin tertawa-tawa untuk menutupi malu dan kagetnya ketika ujung sulingnya terbabat oleh pedang Li Cu tadi.

Mendengar ini, Li Cu gelisah sekali, apa lagi pada saat ia mengerling, ia melihat betapa suci-nya sekarang sedang dikeroyok dua, payah sekali keadaannya.

Memang demikianlah. Menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang saja sudah sangat berat bagi Lee Giok. Sungguh pun selama itu dia masih mampu melindungi dirinya dan terus bertahan, namun sama sekali dia sudah tidak mampu untuk balas menyerang. Sekarang melihat suaminya terluka dan roboh, hatinya semakin risau dan bingung, apa lagi setelah Giam Kin ikut maju mengeroyoknya sambil nyengar nyengir dan mengeluarkan kata-kata memuakkan.

"Trangg... tranggg....!"

Pedang di tangan Lee Giok terlepas dan jatuh ke atas genteng dengan bunyi berisik ketika pedang itu secara serentak digempur dari kanan kiri oleh golok Kim-thouw Thian-li dan suling buntung Giam Kin. Nyonya muda itu kini sudah tidak bersenjata lagi!

"Ha-ha-ha, Enci Kim Li, kurasa lebih baik kau membantu gurumu mengalahkan bidadari Thai-san itu, biarlah janda muda ini aku yang melayaninya..."

Kim-thouw Thian-li memang sudah menguatirkan gurunya, maka dia segera meloncat dan ikut mengeroyok Li Cu. Ada pun Lee Giok dengan muka merah dan dada panas hampir terbakar menghadapi Giam Kin. Suaminya terluka dan kini ia dihina, disebut janda muda. Hati siapa yang tak akan sakit?

"Manusia berwatak iblis! Binatang busuk, hari ini aku Lee Giok hendak mengadu nyawa denganmu!" teriak Lee Giok.

Ia pun cepat menubruk maju sambil menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah ulu hati lawan, disusul tendangan yang ditujukan ke arah pusar. Kedua serangan susul menyusul ini merupakan serangan maut yang nekat sekali karena dengan melakukannya, Lee Giok sebetulnya juga telah ‘membuka’ beberapa bagian tubuhnya menjadi tidak terlindung lagi.

Namun dia sudah tidak peduli lagi karena saking marah dan putus asanya. Nyonya muda ini betul-betul sudah berlaku nekat dan ingin membunuh lawannya. Namun sayang sekali bagi Lee Giok, lawannya terlampau kuat baginya. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam Kin, murid tunggal dari Siauw-ong-kwi, tokoh pertama dari utara itu.

Dengan tertawa mengejek Giam Kin bergerak cepat menangkap pergelangan tangan Lee Giok yang memukul ulu hatinya, sambil dia menggeser kakinya mengelakkan tendangan. Kemudian, sebelum nyonya muda itu sempat meronta, Giam Kin sudah menotok jalan darahnya membuat Lee Giok tak dapat berkutik lagi.

"Ha-ha-ha-ha, Enci Kim Li dan Hek-hwa Locianpwe, aku akan pergi lebih dahulu saja...!" katanya sambil memondong tubuh Lee Giok dan membawanya lari pergi dari tempat itu!

"Bangsat Giam Kin, lepaskan suci-ku!" bentak Cia Li Cu marah sekali melihat Lee Giok hendak diculik.

Akan tetapi Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menghadangnya dan tidak memberi kesempatan sama sekali pada dara itu untuk melakukan pengejaran terhadap Giam Kin. Bukan main marahnya Li Cu ketika melihat betapa Giam Kin telah menghilang di dalam gelap sambil membawa pergi Lee Giok.

Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa kerena dia sendiri sedang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Ternyata bahwa selama ini Kim-thouw Thian-li telah menerima latihan-latihan dari gurunya sehingga kepandaiannya sudah meningkat cepat. Maka agak repot juga Li Cu dikeroyok dua oleh guru dan murid ini.

"Lepaskan Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Kembang)!" mendadak Hek-hwa Kui-bo berseru kepada muridnya.

Dua orang guru dan murid itu gemas juga ketika menghadapi kenyataan bahwa biar pun mereka mengeroyok, tetap saja ilmu pedang yang dimainkan Cia Li Cu tak dapat mereka gempur dan pecahkan. Oleh karena itu, sekarang tiba-tiba mereka menggerakkan tangan kiri berulang-ulang.

Li Cu kaget sekali. Gadis ini cukup maklum akan bahayanya senjata rahasia yang keji dari kedua orang lawannya ini. Dia maklum bahwa Kim-thouw Thian-li sudah sangat terkenal dengan racun kembang yang menjadi keistimewaan Ngo-lian-kauw.

Maka ia pun segera menutar pedangnya dengan gerakan yang disebut Sian-li Thouw-so (Sang Dewi Menenun). Runtuhlah belasan batang jarum halus yang dilepas oleh kedua orang lawannya itu.

Akan tetapi sekarang kedudukan Li Cu menjadi lemah sekali karena ia harus menghadapi serangan serta desakan dua orang lawannya itu sambil menjaga kalau-kalau masih ada pelepasan senjata rahasia lagi. Ia mulai terdesak dan mulai dipaksa mundur!

Pada saat yang sangat berbahaya bagi diri Li Cu itu, mendadak dari bawah berkelebat bayangan orang. Gerakannya demikian ringan laksana seekor burung terbang saja dan begitu tiba di atas genteng, orang ini lantas berseru,

“Kim-thouw Thian-li dan gurunya, di mana-mana mengacau saja!”

Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang datang ini, akan tetapi Cia Li Cu biar pun selama hidupnya baru dua kali bertemu dengan orang ini, masih mengenal suara dan diam-diam dia menjadi girang sekali. Wajahnya tiba-tiba berubah merah dan dadanya berdebar, akan tetapi ia tidak mau mengeluarkan suara apa pun melainkan terus mendesak dua orang lawannya seolah-olah tak tahu akan datangnya bala bantuan.

Hek-hwa Kui-bo marah sekali karena tadinya dia dan muridnya sudah mulai mendesak hebat kepada Li Cu. Datangnya orang ini merupakan gangguan besar, maka cepat dia mengggerakkan pedangnya membacok kepala orang yang baru datang sedangkan sapu tangannya yang tinggal sepotong itu pun diarahkan ke arah perut orang.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika potongnya hanya mengenai angin dan tlba-tiba saja sapu tangannya terbetot oleh orang itu hingga terlepas dari pegangannya! Hanya dengan tangan kosong orang itu dapat merampas sapu tangannya dan menghindarkan serangan pedangnya!

“Siapa kau?!” bentaknya marah.

“Hek-hwa Locianpwe, lupakah kau padaku? Aku tidak saja belum lupa kepada Locianpwe, malah tiga macam ilmu Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee yang kau ajarkan dahulu pun masih teringat baik olehku!”

Bukan main kagetnya Hek-hwa Kui-bo. Sekarang ia mengenal laki-laki muda ini.

“Beng san... Kau...?! Kim Li, hayo kita pergi.” Hek-hwa Kui-bo menarik tangan muridnya dan dua orang wanita itu maloncat lenyap di malam gelap.

Mengapa Hek-hwa Kui-bo nampaknya begitu takut kepada orang muda yang ternyata adalah Tan Beng San itu? Sebetulnya, Hek-hwa Kui-bo sudah mengenal Beng San sejak jago pedang ini masih kecil.

Dalam cerita Raja Pedang sudah diceritakan dengan jelas betapa di waktu kecilnya saja Beng San sudah ‘menerima kebaikan’ dari Hek-hwa Kui-bo, yaitu diberi latihan Thai-hwee (Api Besar), Siu-hwee (Simpan Api) dan Ci-hwe (Keluarkan api), padahal tiga macam ilmu itu sebetulnya diberikan dengan niat untuk mencelakakan Beng San yang pada waktu itu tubuhnya telah penuh dengan tenaga Yang-kang sehingga ilmu ini bisa menewaskannya.

Kemudian setelah Beng San dewasa dan memiliki ilmu tinggi, Hek-hwa Kui-bo sudah pula melihat kepandaiannya ketika diadakan pertemuan memperebutkan gelar Raja pedang di Puncak Thai-san. Karena itu, kedatangan pemuda yang memiliki ilmu tinggi ini tentu saja membuat ia maklum bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya sehingga ia segera mengajak muridnya lari saja.

Cia Li Cu baru dua kali selama hidupnya bertemu dengan adik dari suheng-nya ini, yaitu adik dari Tang Beng Kui. Akan tetapi dalam dua kali pertemuan itu ia mendapat kesan hebat akan diri Beng San, maka ketika tadi ia mengenai suaranya, hatinya menjadi girang sekali.

Anehnya, entah apa sebabnya, ia merasa malu juga bertemu dengan Beng San. Hal ini mungkin sekali karena ayahnya pernah menyatakan bahwa Beng San adalah ‘lebih baik’ dari pada Beng Kui yang menjadi tunangannya, atau mungkin ia merasa malu karena Beng San adalah adik Beng Kui. Entahlah, sesungguhnya bagaimana ia sendiri tidak tahu
sebabnya. Pokoknya ia merasa malu bertemu dengan Beng San.

Maka melihat dua orang lawannya kabur, Li Cu segera mengejar. Bukan hanya karena tidak ingin bertemu lama-lama dengan Beng San, akan tetapi terutama sekali karena ia hendak menolong suci-nya, Lee Giok yang sudah terculik oleh Giam Kin.

Orang muda yang baru datang dan hanya dalam segebrakan saja sudah dapat mengusir orang-orang yang memusuhi keluarga Thio Ki itu, memang benar adalah Beng San, Si Raja Pedang. Seperti kita ketahui, orang muda ini dari Hoa-san-pai melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Sin-yang untuk mencari Thio Ki untuk memberitahukan mengenai keadaan Hoa-san-pai yang dirusak oleh Kwa Hong.

Hati orang muda ini masih perih dan bukan main sedihnya setelah pertemuannya yang mengharukan dengan Kwa Hong di Hoa-san-pai itu. Pedih dan sakit rasa hatinya kalau ia teringat betapa perbuatannya dengan Kwa Hong dulu itu telah mengakibatkan terjadinya hal-hal yang demikian hebatnya.

Kwa Hong telah mengandung dan hati wanita itu rusak binasa, membuatnya seperti gila kemudian berubah menjadi manusia yang ganas karena kepatahan hatinya. Dan semua itu karena dia!

Beng San melakukan perjalanan siang malam, maka ketika ia tiba di Sin-yang pada waktu malam, ia tidak berhenti dan langsung ia mencari rumah Thio Ki dan mengunjunginya. Memang segala hal yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan dan diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia hanya memandangnya sebagai hal yang ‘kebetulan’ saja.

Demikian pula dengan munculnya Beng San malam-malam di rumah Thio Ki. Sungguh kebetulan sekali. Begitu melihat keadaan yang tidak sewajarnya, Beng San mencari tahu dan nampak olehnya pertempuran yang terjadi di atas genteng. Sayang ia agak terlambat sehingga tidak terlihat olehnya ketika Lee Giok terculik oleh Giam Kin.

Sekarang melihat bahwa Li Cu yang tadinya terdesak hebat oleh pengeroyokan guru dan murid itu dengan nekat mengejar, hatinya menjadi gelisah. Dia sudah kenal baik dengan kelihaian Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang curang dan amat licin itu, penuh tipu daya dan muslihat busuk. Maka ia berkuatir kalau-kalau Cia Li Cu yang meski pun amat lihai namun tentu kalah licin itu akan terjebak.

Segera Beng San menggerakkan kaki hendak mengejar pula. Akan tetapi tiba-tiba saja ia mendengar suara mengeluh kesakitan tidak jauh dari tempat dia berdiri. Pada waktu dia menghampiri, dia melihat Thio Ki rebah dalam keadaan terluka.

Segera Beng San memondongnya dan membawanya turun ke bawah. Di ruangan dalam, di bawah penerangan lampu, Beng San memeriksa luka Thio Ki. Memang hebat, akan tetapi tidak amat berbahaya.

Di Puncak Min-san, sedikit banyak Beng San sudah mempelajari ilmu pengobatan dari mertuanya, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun, maka di dalam perjalanannya ia pun membawa obat-obat manjur untuk mengobati luka-luka pukulan dan racun. Setelah ia menotok jalan darah, mengurut dan memberi obat, Thio Ki dapat bangun dan duduk kembali.

"Saudara Beng San...," katanya mengeluh, "baiknya kau datang... tapi bagaimana dengan isteriku...? Bagaimana pula dengan Adik Cia Li Cu?"


"Isterimu? Aku tidak melihatnya tadi. Ketika aku datang, Nona Cia sedang bertempur dan dikeroyok dua oleh Hek-hwa Kui-bo bersama muridnya."

Thio Ki meloncat berdiri. "Celaka! Dan kau tidak melihat isteriku? Tidak pula melihat Giam Kin?"

Beng San menggeleng kepala dan Thio Ki segera menjatuhkan diri di atas pembaringan. "Celaka.... celaka sekali... tentu Lee Giok telah diculik oleh penjahat iblis itu..."

Beng San adalah seorang yang amat cerdik. Sekilas saja ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu Giam Kin menawan Lee Giok. Pantas saja tadi Li Cu sama sekali tidak rnenghiraukannya dan terus mengejar. Kiranya gadis Thai-san itu hendak menolong suci-nya. Ia mengambil keputusan cepat.

"Dengar, Thio-twako. Kedatanganku ini pun membawa berita penting sekali. Sekarang kita harus bertindak tegas dan cepat. Ketahuilah, Hoa-san-pai sudah dirusak oleh sumoi-mu, Kwa Hong. Gurumu terbunuh, Kwa Hong menduduki Hoa-san-pai. Sekarang sudah pergi dan Hoa-san-pai dalam keadaan kacau tidak ada yang mengurus. Sute-mu Kui Lok dan adikmu Thio Bwee juga diusir oleh Kwa Hong. Maka, biar pun kau terluka, kau sekarang juga harus pergi ke Hoa-san-pai, kau urus Hoa-san-pai baik-baik sambil beristirahat dan menyembuhkan lukamu. Obat ini kau bawa, harus kau minum sehari sebungkus. Tentang isterimu dan Nona Li Cu, biarlah aku yang mewakilimu melakukan pengejaran. Sudah mengertikah kau?"

Wajah Thio Ki sebentar pucat sebentar merah. Tak disangkanya bahwa akan terjadi hal yang demikian hebat, tidak saja yang menimpa keluarganya sendiri, malah Hoa-san-pai tertimpa mala petaka lebih parah lagi. Ia hanya bisa mengangguk-angguk, karena selain Beng San, siapakah yang akan dapat menolong isterinya?

"Sudah, aku pergi!" kata Beng San dan sekali berkelebat orang muda itu sudah lenyap dari depan Thio Ki, membuat orang ini kagum bukan main.

Thio Ki juga tak mau berlama-lama di rumah. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah pergi memaksa diri menuju ke Hoa-san-pai…..

********************

Cia Li Cu yang melakukan pengejaran, tidak melihat lagi adanya Giam Kin dan tidak tahu ke mana suci-nya dibawa lari oleh manusia iblis itu. Maka karena yang lari di depannya hanyalah Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, mau tidak mau ia hanya dapat mengikuti dua orang itu.

Dia tidak mau segera turun tangan terhadap Hek-hwa Kui-bo dan muridnya karena tujuan utamanya adalah untuk menolong suci-nya. Maka, diam-diam ia hanya mengikuti dari jauh karena ia mengira bahwa kedua orang itu tentu akan membawanya ke tempat Giam Kin yang menculik Lee Giok.

Sungguh di luar dugaan Li Cu sama sekali bahwa tujuan perjalanan dua orang guru dan murid itu sama sekali berlawanan arah dengan jalan yang ditempuh oleh Giam Kin yang menculik Lee Giok! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li berlari menuju ke selatan, ke tempat tinggal Kim-thouw Thian-li, yaitu di Propinsi An-hui, di lembah Sungai Huai.

Sejak para pejuang berhasil merobohkan pemerintah Mongol, ibu kota lalu dlpindahkan ke Nan-king. Diam-diam Kim-thouw Thian-li juga lalu memindahkan pusat perkumpulannya, yaitu Ngo-lian-kauw, ke lembah Sungai Huai, tidak jauh dari kota raja baru ini, di sebelah baratnya. Perkumpulannya berpusat di sebelah utara kota Ho-pei. Guru dan murid ini memang tadinya hanya bermaksud membunuh Lee Giok dan Thio Ki, dibantu oleh Giam Kin.

Sekarang mereka sudah berhasil melukai Thio Ki, juga Lee Giok telah diculik oleh Giam Kin. Berarti usaha mereka itu sudah berhasil baik sekali biar pun mendapat tantangan dari orang-orang pandai seperti Cia Li Cu dan Tan Beng San.

Setelah mengikuti perjalanan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li selama lima hari, mulailah hati Li Cu menjadi gelisah serta curiga. Apalagl ketika dia mendapat kenyataan bahwa guru dan murid itu sekarang tidak lari lagi, dan agaknya melakukan perjalanan dengan tidak tergesa-gesa.

Ia merasa amat kuatir tentang diri suci-nya. Ia mengambil keputusan bahwa kalau hari itu kedua orang yang diikutinya tidak membawanya kepada Giam Kin, dia akan menerjang dengan nekat dan memaksa mereka mengaku ke mana suci-nya itu dibawa pergi.

Akan tetapi, lewat tengah hari itu Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tiba di sebuah dusun kecil di pinggir Sungai Huang-ho (Sungai Kuning). Alangkah mendongkolnya hati Li Cu ketika ia mendengar dua orang itu hendak menyewa perahu untuk pergi ke pantai Kui-feng. Jelas bahwa dua orang ini hendak terus melakukan perjalanan ke selatan.

Diam-diam dia lalu menyelidiki dusun itu. Dia bertanya-tanya kepada para tukang perahu kalau-kalau dalam beberapa hari ini di situ lewat seorang laki-laki muda bermuka pucat dan membawa seorang wanita muda. Ia mendapat jawaban bahwa tidak ada orang-orang yang ditanyakannya itu. Maka mulailah Li Cu mengerti bahwa ia telah salah kira. Agaknya dua orang yang diikutinya ini sama sekali tidak menuju ke tempat Giam Kin!

"Hek-hwa Kui-bo, tunggu dulu!" begitu bentaknya sambil berlari mendekati pada waktu ia melihat dua orang guru dan murid itu hendak naik ke dalam perahu.

Nenek itu menoleh dan tersenyum mengejek, "Bocah bandel! Kau mengikuti kami selama lima hari terus-menerus, mau apa sih?"

Bukan main mendongkol dan kagetnya hati Li Cu. Nenek ini benar-benar amat lihai dan bermata tajam. Akan tetapi Kim-thouw Thian-li menoleh dengan terheran-heran, agaknya tidak tahu akan perbuatannya mengikuti mereka siang malam itu.

"Hek-hwa Kui-bo, sahabatmu Giam Kin si iblis busuk itu telah menculik Enci Lee Giok. Aku mengikutimu untuk menanyakan di mana suci-ku itu dibawa pergi."

Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek, "Kalau kau ada kemampuan, carilah sendiri, peduli apa aku dengan nasib suci-mu?"

"Kalau begitu, sebelum kubunuh iblis she Giam itu, lebih dahulu kau dan muridmu akan kubasmi!" bentak lagi Li Cu sambil mencabut pedangnya.

Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara bersuit keras sekali datangnya dari tengah sungai yang lebar itu. Semua tukang perahu dan nelayan yang berada di darat segera rnenjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah sungai. Keadaan menjadi sunyi senyap, sampai-sampai tiga orang yang tadinya akan bertempur itu ikut pula menengok ke arah suara tadi. Li Cu juga menunda penyerangannya dan memandang ke tengah sungai.

Sebuah perahu besar sekali dan mewah berada di tengah sungai. Dari kejauhan tampak beberapa orang di atas perahu itu memandang ke darat. Kemudian terdengar suara yang nyaring bergema, suara yang penuh dengan tenaga khikang, sehingga bisa didengar jelas sampai ke darat.

"Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Laut) mengundang Hek-hwa Kui-bo bersama Kim-thouw Thian-li untuk datang berkunjung ke tempat kediamannya!" Suara ini bergema di permukaan air sungai.

Li Cu tidak pernah mendengar nama Tiga Raja Sungai dan Laut ini, maka ia tidak ambil peduli. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hwa Kui-bo dari Kim-thouw Thian-li.

Hek-Hwa Kui-bo merupakan seorang tokoh besar di selatan, maka sudah tentu saja ia mengenal nama besar Ho-hai Sam-ong. Kalau dia boleh dibilang merupakan tokoh nomor satu di dunia persilatan bagian daratan sebelah selatan, kiranya nama Ho-hai Sam-ong adalah nama tokoh nomor satu pula di bagian sungai dan laut!

Demikian pula Kim-thouw Thian-li. Dia sudah mengenal nama besar ini yang sudah amat terkenal dan amat berpengaruh, karena Ho-hai Sam-ong dianggap sebagai pemimpin dari sekalian bajak sungai dan bajak laut di daerah selatan ini.

Sebuah perahu kecil meluncur cepat sekali ke pinggir sungai dan di ujungnya berkibar sebuah bendera dengan gambar tiga macam binatang air yang menyerupai buaya, naga dan ikan cucut. Pendayungnya hanya dua orang, akan tetapi melihat betapa perahu itu cepat bukan main meluncurnya, dapat diketahui bahwa dua orang itu adalah orang-orang ahli.

"Tamu-tamu yang diundang, silakan turun ke perahu!" seorang di antara dua pendayung itu berkata. Mereka adalah dua orang lelaki yang usianya mendekati empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bermuka keras.

Hek-hwa Kui-bo berpaling kepada muridnya, dan berkata sambil tersenyum, "Sam-ong sudah begitu baik hati mengundang kita, tak baik kalau kita menolaknya."

Setelah berkata demikian ia meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu kecil itu, diikuti oleh Kim-thouw Thian-li. Perahu itu sama sekali tidak bergoyang ketika kedua kaki Hek-hwa Kui-bo tiba di situ, dan hanya bergoyang sedikit ketika Kim-thouw Thian-li menyusul gurunya.

"Hek-hwa Kui-bo, jangan harap bisa pergi sebelum memberi tahu di mana adanya Giam Kin!" Li Cu membentak marah dan ikut pula melompat dengan gerakan indah dan cepat.

"Kau sudah bosan hidup!"

Hek-hwa Kui-bo menyambut dengan serangan pedangnya pada waktu tubuh Li Cu masih berada di udara. Akan tetapi Li Cu memang sudah siap sedia. Pedang Liong-cu-kiam sudah di tangannya dan cepat pedang ini ia putar sedemikian rupa mendahului tubuhnya sehingga serangan Hek-hwa Kui-bo tertangkis dengan suara nyaring dan... ujung pedang Hek-hwa Kui-bo telah patah! Sementara itu, Li Cu sudah mendarat di atas perahu, siap menghadapi pengeroyokan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li.

Pada saat itu, kembali terdengar suara suitan keras dari perahu besar di tengah sungai. Dua orang pendayung perahu kecil yang sudah menggerakkan perahu itu meluncur ke tengah, segera berhenti mendayung dan berkata,

"Nona muda ini pun menjadi tamu undangan yang terhormat. Sam-wi (kalian bertiga) tidak boleh bertempur!"

Akan tetapi, mana Li Cu sudi mendengarkan omongan ini? Sekarang bukan lagi guru dan murid itu yang menyerangnya, sebaliknya dia yang cepat menggerakkan pedang untuk menyerang. Dara cantik ini sudah nekat sekali dalam usahanya untuk memaksa mereka memberi tahu di mana adanya Giam Kin yang menculik Lee Giok.

Padahal perahu itu amat kecil dan kiranya akan terguling kalau dipakai untuk bertempur. Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang berdiri berdampingan, terpaksa menyambut serangan ini dan dua orang tukang perahu itu menjadi bingung dan marah.

"Sam-wi tidak boleh bertempur!" berkali-kali mereka berseru.

Perahu itu mulai terombang-ambing. Namun yang bertempur tetap nekat.

"Kalau tidak mau berhenti, kami akan gulingkan perahu!" kata dua orang pendayung.

Sementara itu, para nelayan dan tukang perahu yang berada di pinggir sungai menonton kejadian yang menarik ini tanpa berani mengeluarkan suara.

Akan tetapi Li Cu tetap tidak mau berhenti menyerang. Dua orang tukang pendayung itu lalu meloncat ke dalam air dan sekali mereka bergerak, perahu kecil itu sudah terguling! Hebat bukan main kegesitan tiga orang wanita ini dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) mereka memang sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Sambil berseru keras ketiganya meloncat ke atas. Perahu membalik, dan tiga orang itu sudah turun kembali, kini berdiri di atas perahu yang terbalik!

Dari pinggir sungai terdengar seruan-seruan memuji. Memang indah dan hebat gerakan mereka, seperti tiga ekor burung saja. Akan tetapi sekarang tiga orang wanita ini tidak berani sembarangan bergerak menyerang lagi karena perahu yang terbalik itu sudah bergoyang-goyang hebat, dan pasti mereka akan celaka kalau terjatuh ke dalam air.

Li Cu berdiri di satu ujung dengan pedang siap di tangan, sedangkan di ujung yang lain berdiri guru dan murid itu, juga siap dengan senjata di tangan. Ada pun dua orang tukang perahu itu sambil menyelam lalu berenang dan menarik perahu kecil itu menuju ke perahu besar. Benar-benar keadaan yang amat lucu dan aneh kedatangan tiga orang tamu yang diundang ini!

Li Cu maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Dia tidak mengenal siapa itu Ho-hai Sam-ong dan karena tiga raja itu mengenal Hek-hwa Kui-bo, sudah tentu sekali mereka adalah orang-orang jahat dan ia tentu akan menghadapi pengeroyokan hebat. Oleh sebab inilah maka ia berlaku nekat.

Begitu perahu kecil sudah mendekat dengan perahu besar itu, Li Cu mengenjot tubuhnya dan bagai seekor burung kepinis tubuhnya melayang ke atas perahu besar. Di depannya bergulung-gulung sinar pedang yang ia putar-putar untuk menjaga diri.

Tiga orang laki-laki yang berpakaian gagah sudah berada di depannya sambil tertawa dan mengangkat tangan memberi hormat. Seorang di antara mereka yang paling tua sambil tersenyum lalu berkata,

"Nona muda berkepandaian hebat bukan main. Kami kagum sekali... kagum sekali. Atas desakan Kiang-te (Adik Kiang) yang sungguh-sungguh kagum terhadap Nona, maka kami sengaja mengundang Nona dengan baik-baik. Sekarang harap Nona sudi menyimpan kembali pedang pusaka itu."

Li Cu hanya berdiri tegak, tidak mau menyimpan pedangnya, tetap dalam keadaan siap siaga. Sementara itu, tiga orang itu pun berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang sudah meloncat pula ke atas perahu lalu memberi hormat dan berkata,

"Sudah lama mendengar nama besar Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, maka hari ini kami sengaja mengundang Ji-wi. Nona ini juga menjadi tamu kami, maka harap Ji-wi tidak memusuhinya selama dia menjadi tamu undangan kami."

Hek-hwa Kui-bo membalas penghormatan mereka sambil berkata, "Sudah lama pula kami mendengar nama besar Sam-ong. Hari ini menerima kehormatan dan undangan, hal ini berarti tidak melupakan hubungan dunia kang-ouw di daerah selatan. Tentu saja aku dan muridku tidak akan mengacaukan tempat Sam-ong, kecuali kalau Nona muda galak ini menyerang kami, terpaksa kami mempertahankan diri."

"Hek-hwa Kui-bo, apakah kau begini pengecut?" Li Cu membentak marah. "Mengapa kau berlindung di tempat orang? Kalau kau memang gagah, marilah kita mendarat dan kita melanjutkan pertempuran."

Orang tertua dari ketiga Sam-ong itu segera menghadapi Li Cu dan berkata, suaranya tetap halus, "Nona, harap kau suka memandang muka kami dan tidak memusuhi kedua orang tamu kami ini. Kelak kalau kau sudah tidak bersama kami, terserah."

"Aku tidak mengenal kalian, akan tetapi aku pun tahu akan peraturan kang-ouw dan tidak akan mengacaukan tempat kalian ini. Biarlah aku mendarat saja dan menanti sampai dua orang pengecut ini berani mendarat pula."

"Ha-ha-ha, Nona muda, besar sekali nyalimu. Hek-hwa Kui-bo sebagai tokoh terkenal di dunia selatan, masih sungkan menolak undangan kami. Sekarang kami mengundang kau dengan maksud baik, bagaimana kau bisa menolaknya?"

Pedang di tangan Li Cu menggetar. Memang dia adalah seorang gadis muda yang amat berani, apa lagi ilmu silatnya memang tinggi sekali dan waktu itu dia memang sedang berada dalam keadaan marah. Sama sekali ia tidak gentar meski pun ia berada di tempat orang lain.

"Mana ada aturan mengundang orang dengan cara memaksa? Aku bebas merdeka untuk menerima atau menolak setiap undangan dan kali ini aku tidak ingin menerima undangan siapa pun juga. Lekas sediakan perahu agar aku dapat mendarat kembali!"

Kini orang ke tiga dari tiga orang itu melangkah rnaju. Suaranya tinggi kecil dan matanya yang sipit itu bercahaya tajam. Hebat warna matanya yang sipit itu, karena warnanya merah seperti orang yang sedang sakit mata.

"Nona, apakah kau belum pernah mendengar nama Ho-hai Sam-ong maka kau berani menolak undangan kami?"

Li Cu balas memandang, tidak berani lama-lama menentang mata yang merah itu karena sebentar saja ia merasa matanya sakit. Tapi ia masih tabah dan tersenyum mengejek. "Belum pernah mendengar sama sekali, akan tetapi andai kata pernah mendengar juga, jangankan baru Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Lautan), meski Thian-te Sam-ong (Tiga Raja Bumi Langit) yang mengundang, sekali aku bilang tidak mau tetap tidak mau!"

Orang ke dua melangkah maju dan tertawa bergelak. Seperti dua orang yang lain, orang ke dua ini pun usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.

"Ha-ha-ha-ha, masih begini muda namun hebat kepandaiannya, dan ketabahannya luar biasa. Ehh, Nona manis, kau ini puteri siapakah dan siapa pula namamu?"

Kini Li Cu mendapat kesempatan untuk membanggakan keadaannya. Dengan senyum mengejek dan suara nyaring dia lalu berkata, "Aku dari Thai-san. Ayahku adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding) Cia Hui Gan, namaku sendiri Cia Li Cu. Hayo lekas antar aku mendarat."

Tiga orang itu saling pandang, lalu tertawa bergelak-gelak. Li Cu menjadi heran dan dia mulai memperhatikan mereka.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar