Beberapa hari kemudian di Puncak Hoa-san…..
Pemberontakan melawan Pemerintah Mongol yang kini sudah runtuh masih menyisakan bekas-bekasnya pada perkumpulan Hoa-san-pai yang bermarkas di puncak gunung ini. Dahulu Hoa-san-pai di bawah pimpinan Lian Bu Tojin merupakan partai persilatan yang amat besar. Banyak sekali, lebih dari seratus orang tosu (pendeta To) menjadi murid Lian Bu Tojin. Juga ketika itu Hoa-san-pai terkenal dengan adanya Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san-pai) yang menjadi murid-murid utama Lian Bu Tojin.
Akan tetapi sekarang keadaan sudah banyak berubah. Hoa-san-pai tak lagi semegah dan sekuat dahulu. Banyak sekali anggota Hoa-san-pai yang gugur ketika mereka membantu kaum pejuang menumbangkan Pemerintah Kerajaan Mongol.
Malah Hoa-san Sie-eng sudah tidak ada lagi. Yang dua telah tewas ketika terjadi kesalah pahaman dan permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Tinggal yang dua lagi, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, yang terjerumus ke dalam jalinan asmara sehingga membuat mereka lari pergi dari Hoa-san.
Cucu murid dari Lian Bu Tojin yang sekarang berada di Hoa-san hanya dua orang, yaitu Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang saudara seperguruan yang sudah dijodohkan oleh Lian Bu Tojin. Oleh Lian Bu Tojin, dua orang yang ia anggap sebagai calon penggantinya ini digembleng dengan ilmu silat Hoa-san-pai yang paling tinggi dan ia berpesan supaya dua orang ini berlatih dengan giat.
Dalam cerita RAJA PEDANG telah dituturkan bahwa Thio Bwee memang sudah jatuh hati kepada suheng-nya itu, sebaliknya tadinya Kui Lok hendak merebut hati Kwa Hong. Akan tetapi usahanya ini tidak pernah berhasil dan kemudian setelah ia dijodohkan dengan Thio Bwee dan melihat cinta kasih hati gadis ini terhadap dirinya, terbukalah hatinya dan ia pun mulai menaruh hati kasih kepada Thio Bwee.
Karena murid Hoa-san-pai yang lain yaitu Kwa Hong sudah minggat dan memberontak terhadap Hoa-san-pai, sedangkan Thio Ki sudah menikah dengan murid Thai-san, yaitu Lee Giok, murid Raja Pedang Cia Hui Gan dan sekarang telah tinggal di Sin-yang menjadi piauwsu, maka mereka berdua dengan tekun memperdalam ilmu silat sambil tinggal di Puncak Hoa-san menemani guru besar mereka.
Pada hari itu Kui Lok dan Thio Bwee sedang memberi petunjuk-petunjuk kepada para tosu yang juga dipesan agar memperdalam ilmu silat untuk memperkuat kembali Hoa-san-pai. Mereka dengan gembira berlatih di halaman depan yang luas. Pagi hari itu terasa amat indah dan hawa udara juga terasa sejuk sekali.
Tiba-tiba seorang tosu berseru, "Suhu datang...!"
Kui Lok dan Thio Bwee menengok dan cepat mereka lari menyambut dengan hati gelisah. Kakek Ketua Hoa-san-pai itu nampak pucat dan jalannya terhuyung-huyung, terang sudah menderita luka yang hebat sekali.
Kui Lok adalah seorang pemuda yang usianya baru menginjak dua puluh tiga tahun, akan tetapi pandang matanya sudah tajam rnenandakan bahwa dia sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas. Wajahnya tampan dan ada sifat-sifat nakal gembira, akan tetapi tarikan mulutnya membayangkan keangkuhan hati. Ada pun Thio Bwee yang hitam manis itu wataknya lebih pendiam. Sinar matanya membayangkan kekerasan hatinya.
Dua orang muda ini segera memberi hormat, lalu menggandeng lengan suhu-nya untuk dituntun ke ruangan dalam.
"Suhu kenapakah...?" Kui Lok tak dapat menahan lagi hatinya bertanya.
Lian Bu Tojin tidak menjawab, malah segera menjatuhkan diri duduk bersila di atas lantai sambil meramkan mata. Melihat suhu-nya berusaha mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan, para murid maklum bahwa suhu mereka itu sedang melawan serangan luka yang amat berbahaya, maka semua hanya duduk rnelihat dengan hati tidak karuan.
Pada waktu Lian Bu Tojin sudah bergerak lagi dan mengeluarkan tangan yang sejak tadi disembunyikan di dalam saku jubahnya, Thio Bwee langsung mengeluarkan jeritan ngeri ketika melihat tangan kanan gurunya yang sudah buntung itu.
"Suhu...! Tangan Suhu kenapakah...?" Thio Bwee menubruk gurunya, berlutut dan tersedu menangis.
"Suhu, siapakah yang melakukan kekejian ini?" Kui Lok juga menangis sambil bertanya, suaranya mengandung kemarahan dan sakit hati. Baru sekarang dia melihat pula bahwa pedang pusaka Hoa-san-pai yang tadinya dibawa oleh suhu-nya itu sekarang sudah tidak kelihatan lagi di punggung kakek ini, maka ia menjadi makin gelisah.
Lian Bu Tojin membuka matanya, menggeleng-gelengkan kepala perlahan sambil menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara yang sangat lemah, "Masih untung pinto kuat sampai di sini..." Kembali ia meramkan mata agak lama, kemudian setelah membuka lagi matanya ia lalu berkata, "Kui Lok... Thio Bwee... semua ini yang melakukan adalah Hong Hong... tetapi kalian tidak usah menaruh dendam... pinto memang berdosa dan sudah sepatutnya bila menerima pembalasan ini. Hanya... pedang pusaka Hoa-san harus kalian minta kembali. Mintalah bantuan kepada... Beng San di Min-san, hanya dialah yang dapat menandingi Hong Hong dan Koai Atong. Mereka lihai sekali... bahkan Giam Kong juga tewas... pinto... bukan lawan mereka..."
"Suhu...!" Kui Lok sedih dan marah sekali. "Teecu pasti akan merampas kembali pedang pusaka!"
"Teccu akan mengadu nyawa dengan perempuan rendah Kwa Hong!" berkata Thio Bwee sambil menangis.
Keadaan Lian Bu Tojin sudah payah sekali, napasnya memburu. Akan tetapi dia masih sempat membuka mata, kemudian berkata pula, "...selain Beng San... mungkin hanya... supekmu… Lian Ti Tojin... kalian coba minta tolong dia..., bilang pedang pusaka dirampas orang... ahhh..."
Tak dapat lagi Lian Bu Tojin melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya roboh terguling dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuhnya! Dari saku jubahnya jatuh keluar sebuah benda kecil yang ternyata adalah buntungan tangan kanannya yang sudah mulai mengering karena memang tadinya sengaja ditaruh obat oleh Lian Bu Tojin agar jangan membusuk.
Kui Lok dan Thio Bwee, juga para tosu tidak dapat berbuat lain kecuali menangis sedih. Thio Bwee sampai pingsan melihat kematian suhu-nya yang amat mengenaskan hati ini. Dengan penuh rasa kedukaan dan dalam suasana berkabung para tosu segera mengurus jenazah Ketua Hoa-san-pai itu.
Puncak Hoa-san kini diselimuti mendung tebal, mendung kemuraman hati para anggota Hoa-san-pai yang kematian ketuanya secara demikian mengerikan.
Setelah upacara sembahyang dilakukan dan jenazah Ketua Hoa-san-pai itu dimasukkan ke dalam peti, penguburan ditunda untuk beberapa hari. Hal ini dilakukan karena para anggota Hoa-san-pai hendak memberikan kesempatan kepada para tamu yang hendak memberi penghormatan terakhir kepada Ketua Hoa-san-pai yang terkenal itu.
Dan orang-orang kang-ouw memang mempunyai pendengaran yang luar biasa tajamnya. Dalam beberapa hari itu, puncak Hoa-san didaki banyak orang kang-ouw yang hendak menjenguk dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Lian Bu Tojin.
Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka ini tahu akan sebab dari pada kematian kakek ini, karena semua murid Hoa-san-pai merahasiakannya dan kalau ada pertanyaan hanya menjawab bahwa guru besar itu meninggal dunia sewajarnya, yaitu karena usia tua. Hal ini memang mereka sengaja karena yang menyebabkan kematian Lian Bu Tojin adalah Kwa Hong bekas murid Hoa-san-pai sendiri. Tentu saja hal ini amat memalukan kalau sampai terdengar oleh orang luar.
Sepekan kemudian jenazah Lian Bu Tojin dikebumikan. Hoa-san-pai segera mengadakan rapat untuk membicarakan perkembangan dan keadaan perkumpulan mereka, juga untuk membicarakan tentang pesanan terakhir dari Lian Bu Tojin.
Para tosu serentak mengusulkan supaya Kui Lok menggantikan kedudukan gurunya, yaitu mengetuai Hoa-san-pai. Hal ini mereka usulkan karena walau pun Kui Lok dapat dibilang murid yang masih sangat muda, akan tetapi dalam hal ilmu silat Kui Lok sudah mewarisi kepandaian Lian Bu Tojin dan kini memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka.
Mendengar ini, Kui Lok dengan gugup lalu berkata sambil mengangkat kedua tangannya, "Ahhh..., para Suheng dan Susiok bagaimana bisa mengusulkan agar siauwte yang masih muda dan bodoh menggantikan kedudukan mendiang Suhu? Bagaimana aku berani? Ah, aku sama sekali tidak berani menerima kedudukan itu. Hoa-san-pai adalah partai yang sudah ratusan tahun terkenal di dunia kang-ouw, dipimpin oleh orang-orang besar yang sakti. Bagaimana hari ini kedudukan ketua akan diletakkan di pundak seorang muda yang tidak berpengalaman seperti siauwte? Tidak, sekali lagi tidak, aku tidak berani menerima!"
Seorang tosu yang sudah tua dan bermuka sabar sekali segera berkata, "Kui-sute harap jangan berkata demikian. Sudah semenjak dulu Hoa-san-pai disegani kawan dan ditakuti lawan karena ilmu silat yang diajarkannya. Oleh karena itu, mengingat bahwa di antara kita semua, di antara semua murid-murid Hoa-san-pai kiranya hanya Sute yang memiliki kepandaian paling tinggi pada waktu sekarang ini, maka siapa lagi kalau bukan Kui-sute yang dapat menjadi pemimpin? Tentang kurang pengalaman, hal ini kiranya tidak perlu dirisaukan benar karena kita sudah biasa bekerja secara gotong royong, ada sesuatu boleh Sute rundingkan dengan kita bersama. Bukankah hal ini baik sekali?"
Kui Lok masih menaruh keberatan dan terjadilah perdebatan antara Kui Lok dan beberapa orang tosu tua yang mendesaknya supaya menerima kedudukan itu. Akhirnya Thio Bwee bicara, suaranya lantang dan nyaring.
"Para Suheng dan Susiok sekalian, harap suka mendengarkan pertimbanganku yang adil. Memang kalau dipikir, pendapat kedua pihak semua benar. Akan tetapi, mengapa hal pengangkatan ketua ini harus diributkan benar? Sepanjang pengetahuanku yang bodoh, seorang Ketua Hoa-san-pai adalah orang yang berhak memegang pedang pusaka kita, yaitu Hoa-san Po-kiam. Sekarang pedang pusaka itu berada di tangan orang jahat. Dari pada ribut-ribut bicara tentang kedudukan ketua, kurasa lebih baik urusan pengangkatan ketua ini ditunda dulu. Kita bersama, tanpa ketua, berusaha merampas kembali pedang pusaka dan membunuh musuh yang telah mencelakai Suhu. Nah, setelah itu barulah kita bicara tentang ketua."
Semua orang mengangguk-angguk setuju, karena memang kata-kata ini tepat sekali. Kui Lok juga girang mendengar ucapan ini, lalu dia berkata, "Usul yang diajukan Thio-sumoi memang benar-benar amat tepat! Marilah kita bicara tentang usaha merampas kembali pedang pusaka kita."
"Dan membunuh siluman betina Kwa Hong!" Sambung Thio Bwee sambil menatap wajah tunangannya dengan pandang mata tajam.
Kui Lok menarik napas panjang dan maklum akan isi hati tunangannya itu. Cemburu, apa lagi? Memang sedikit banyak ada rasa benci dalam hati Thio Bwee terhadap Kwa Hong, karena bukankah dahulu Kui Lok jatuh hati kepada Kwa Hong?
"Kui-sute, pinto (aku) bersedia untuk pergi ke Min-san dan mohon bantuan Tan Ben San taihiap seperti yang dipesankan oleh mendiang Suhu...," kata seorang tosu. "Mengingat akan hubungan antara Tan-taihiap dengan Hoa-san-pai, pinto rasa dia takkan menolak..."
Kui Lok mengerutkan keningnya. Terbayanglah di depan matanya semua pengalamannya dahulu. Tan Beng San adalah orang yang selalu dia anggap sebagai perintang hidupnya. Cinta kasihnya terhadap Kwa Hong dahulu gagal oleh karena Kwa Hong mencinta Tan Beng san! Dan beberapa kali pemuda itu muncul sebagai seorang yang lebih gagah dari padanya.
Dan sekarang dia harus minta bantuan Beng San. Ah, ia tidak sudi! Terhadap diri Beng San ia sudah menanam perasaan tidak senang yang mendalam.
"Tidak, Siauwte tidak setuju sama sekali karena kita harus minta bantuan orang luar. Para Susiok beserta Suheng harap ingat bahwa urusan ini adalah urusan dalam Hoa-san-pai. Pedang Hoa-san-pai dirampas oleh bekas murid Hoa-san-pai sendiri, dan mendiang Suhu dilukai oleh bekas murid Hoa-san-pai. Bagaimana kita ada muka untuk mencari bantuan orang luar? Bukankah dengan berbuat demikian nama besar Hoa-san-pai akan terjerumus ke dalam lumpur kehinaan?"
Para tosu itu menjadi amat kaget dan cepat-cepat menyatakan persetujuan mereka atas pandangan Kui Lok ini.
"Kalau begitu, satu-satunya jalan... kita harus ke Im-kan-kok..."
Keadaan menjadi sunyi, semua orang di situ merasa seram dan bergidik pada waktu mendengar sebutan Im-kan-kok ini. Im-kan-kok berarti Lembah Akhirat! Dan semua murid Hoa-san-pai telah mengenal Im-kan-kok ini, karena lembah ini merupakan lembah gunung yang dipandang keramat dan juga menakutkan.
Ketika Ketua Hoa-san-pai masih hidup, yaitu Lian Bu Tojin, ketua ini berkali-kali memberi peringatan kepada para murid agar sekali-kali jangan mendekati apa lagi mencoba untuk memasuki Im-kan-kok, karena kalau ketahuan hukumannya adalah mati! Selain ancaman hukuman mati oleh tangan Lian Bu Tojin sendiri, juga ketua ini pernah menceritakan bahwa lembah ini merupakan tempat hukuman bagi seorang Hoa-san-pai yang luar biasa tinggi kepandaiannya, jauh lebih tinggi dari pada Lian Bu Tojin sendiri dan orang aneh luar biasa ini pasti akan membunuh setiap orang yang berani memasuki Im-kan-kok!
Dan sekarang, mendiang Lian Bu Tojin sendiri yang meninggalkan pesan supaya mereka mencari orang aneh ini yang bukan lain adalah suheng sendiri dari ketua itu, bernama Lian Ti Tojin yang telah empat puluh tahun lebih menghukum diri sendiri di dalam Lembah Akhirat ini. Tak seorang pun diberi tahu mengapa orang-orang aneh itu menghukum diri di Im-kan-kok.
Kui Lok mengajukan usul untuk mencari manusia aneh ini di tempat yang merupakan ancaman maut itu.
"Benar, memang kita harus mencari Supek di Im-kan-kok. Supek Lian Ti Tojin merupakan seorang tokoh Hoa-san-pai yang menurut mendiang Suhu dahulu, kepandaiannya amat tinggi, beberapa kali lipat lebih tinggi dari pada kepandaian Suhu sendiri. Kalau memang Hoa-san-pai memiliki orang berkepandaian demikian tinggi, memalukan sekali kalau untuk urusan ini kita harus mencari bantuan dari luar."
"Tapi... tapi...," kata seorang tosu setengah tua, "Supek itu sudah empat puluh tahun lebih menghilang. Apakah... apakah kiranya beliau masih berada di tempat itu? Dan... dan di antara kita siapakah yang pernah melihatnya?"
Semua orang saling pandang. Memang hampir semua tosu belum pernah melihat orang yang dimaksudkan itu. Kui Lok lalu memandang kepada seorang tosu yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang pekerjaannya memelihara kitab-kitab Hoa-san-pai.
"Kwi Bun-susiok yang masih terhitung sute dari Suhu, tentunya sudah pernah bertemu dan melihat wajah Supek Lian Ti Tojin, bukan?"
Mendadak tosu tua itu menjadi pucat, bergemetaran dan menutupi mukanya.
"Tidak... pinto... eh, tidak... tidak pernah kenal..., tidak tahu..." ia menjadi ketakutan sekali dan akhirnya mendekam berlutut dan membaca mantera dengan tubuh menggigil.
Kui Lok dan Thio Bwee saling pandang dengan bulu tengkuk meremang. Mengapa tosu tua ini yang masih terhitung adik seperguruan Lian Ti Tojin sendiri kelihatan ketakutan setengah mati? Sebenarnya orang macam apakah Lian Ti Tojin itu? Dan rahasia apakah yang tersembunyi di balik Lembah Akhirat?
Melihat sikap tosu tua itu, para murid Hoa-san-pai yang biasanya amat takut mendengar Im-kan-kok itu, sekarang menjadi semakin ketakutan dan merasa seram sekali. Mereka duduk dan bersunyi, seakan-akan takut kalau mereka berbuat kesalahan besar karena membicarakan orang rahasia di Im-kan-kok itu.
Tiba-tiba saja semua orang terkejut ketika mendengar suara melengking tinggi menusuk telinga, suara melengking yang datangnya dari atas, dari langit! Semua muka menjadi pucat, malah Kui Lok dan Thio Bwee yang biasanya berhati tabah, kali ini meraba gagang pedang dengan mulut terasa kering. Suara melengking itu makin lama semakin tinggi dan nyaring sehingga orang-orang mulai merasa tidak kuat mendengarnya lagi, lalu menutup telinga.
Tiba-tiba saja meluncur sinar yang menyilaukan mata, sinar kehijauan dan tahu-tahu lima orang tosu roboh terguling. Ternyata dada mereka telah terluka parah dan mereka tewas seketika itu juga!
Kwi Bun Tosu yang sejak tadi ketakutan sekarang berbisik-bisik, "Celaka... celaka... dia datang... ah, kita berbuat dosa..." Setelah berkata demikian, tosu tua ini mencabut pedang sendiri dan menusuk dada sambil berseru, "Lian Ti suheng... siauwte berdosa besar... rela menerima kematian..." Tubuhnya terguling dan ia tewas dengan pedang masih menancap di dadanya!
Kejadian ini tentu saja makin mengejutkan dan menakutkan semua orang. Kui Lok segera meloncat keluar sambil mencabut pedangnya dan berseru keras, "Tidak peduli siapa pun yang datang, harap jangan main gila dengan Hoa-san-pai. Manusia atau iblis, perlihatkan dirimu dan mari kita bertempur sampai seribu jurus!"
Sikapnya gagah sekali dan sikapnya inilah yang membangkitkan semangat semua anak murid Hoa-san-pai. Malah Thio Bwee yang tadinya kaget dan ngeri sekarang juga sudah meloncat sambil mencabut pedang, berdiri di dekat suheng-nya itu.
Tapi tidak terlihat seorang pun manusia di sekitar situ. Selagi mereka terheran-heran dan merasa gelisah, tiba-tiba terdengar desir angin di atas kepala mereka dan di atas desir angin ini terdengar suara ketawa merdu!
Semua orang terkejut sekali karena mengenal baik suara ketawa merdu ini. Ketika mereka memandang ke atas, ternyata Kwa Hong tertawa-tawa sambil duduk di atas punggung seekor burung rajawali besar yang terbang di atas kepala mereka tanpa mengeluarkan suara! Ketika Kwa Hong menggerakkan tangan kiri, lagi-lagi ada lima orang tosu terguling roboh dan tewas. Kui Lok dan Thio Bwee hanya melihat ada sinar hijau menyambar dari tangan ini dan tahu-tahu lima orang teman mereka telah mati dengan dada terluka hebat.
Kemarahan Thio Bwee tak dapat ditahannya lagi. Memang sejak dahulu ia sudah merasa tidak suka terhadap sumoinya ini yang dianggap merampas cinta kasih Kui Lok, apa lagi setelah Kwa Hong melukai Lian Bu Tojin. Sekarang melihat keganasan Kwa Hong yang membunuh-bunuhi bekas saudara-saudara seperguruan sendiri, dia segera menudingkan pedangnya ke arah burung yang terbang lewat sambil berkata nyaring,
"Siluman betina Kwa Hong! Kau turunlah untuk menerima hukuman di ujung pedangku!"
Ada pun Kui Lok yang masih belum hilang cinta dan rindunya kepada Kwa Hong, hanya mengeluh, "Hong-moi... kenapa kau begini kejam...?"
Kwa Hong tertawa merdu dan tiba-tiba burungnya itu menukik ke bawah dan hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan sedikit pun bunyi berisik. Kwa Hong meloncat turun dari punggung burungnya, gerakannya ringan sekali.
Semua murid Hoa-san-pai memandang dengan mata terbelalak. Wajah itu masih tak ada bedanya dengan dulu, wajah Kwa Hong yang cantik molek dengan sepasang mata seperti bintang pagi, jeli dan bersinar-sinar penuh daya hidup, hanya bedanya sekarang terdapat pemancaran sinar mata yang aneh dan mengerikan pada mata indah itu.
Pakaiannya masih seperti dulu, bagus dan dari sutera mahal, akan tetapi warnanya serba putih, tidak serba merah seperti dulu lagi. Pada punggungnya tergantung pedang pusaka Hoa-san-pai dan di tangan kirinya terpegang sebuah senjata yang amat aneh. Merupakan gagang cambuk yang berekor lima dan pada setiap ekor cambuk itu terikat sebatang anak panah hijau. Tali sutera hitam membelit pergelangan tangannya dan ternyata cambuk itu gagangnya dipasangi tali ini sehingga agaknya selain dapat dipergunakan sebagai senjata dalam pertandingan, juga dapat dipakai untuk menyerang lawan secara ditimpukkan lalu ditarik kembali melalui tali. Sebuah senjata yang luar biasa sekali, mengerikan dan tahulah Kui Lok dan saudara-saudaranya bahwa senjata inilah yang dalam waktu dua kali telah mengambil nyawa sepuluh orang saudara mereka!
"Hi-hi-hi, Enci Bwee! Kau semakin hitam saja! Apakah kau sudah berhasil merebut hati Kui-suheng sekarang?" Kwa Hong berkata dan meremang bulu tengkuk Thio Bwee ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Kwa Hong yang kalau dibanding dengan dulu seperti bumi langit bedanya. Di dalam suara ini terkandung kesedihan besar bercampur dengan ejekan dan kebencian.
"Kau sudah menjadi siluman!" Thio Bwee balas memaki sambil menerjang maju dengan pedang di tangan.
Kwa Hong hanya tersenyum mengejek tanpa bergerak dari tempatnya. Tiba-tiba sesosok bayangan besar menyambut gerakan Thio Bwee dan tahu-tahu burung rajawali itu sudah mencakar Thio Bwee dengan kaki kanannya. Thio Bwee tidak gentar, cepat ia memutar pedang untuk memapaki kaki burung itu dengan maksud membabatnya putus.
Akan tetapi mendadak sekali burung itu menggerakkan dua sayapnya, gerakannya tidak mendatangkan angin dan sama sekali tak dapat diduga oieh Thio Bwee, maka tahu-tahu tangannya terpukul sayap sehingga pedangnya terlempar jauh!
"Tiauw-heng, jangan pukul dia, kasihan... ha-ha-ha-ha!" Kwa Hong menyuruh burungnya mundur sambil tertawa-tawa.
Muka Thio Bwee menjadi pucat luar biasa dan matanya memandang dengan marah, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Gerakan burung itu benar-benar amat hebat dan tidak tersangka-sangka, juga tenaganya besar sekali.
Dengan langkah lemah gemulai Kwa Hong menghampiri Kui Lok, sambil tersenyum lalu berkata, "Kui-ko, kau tadi menantang-nantang seperti seorang pendekar besar. Agaknya kau sekarang sudah memperoleh kemajuan hebat dengan kepandaianmu, apakah kau sudah pandai bermain pedang dengan tangan kanan ataukah masih kidal? Hi-hi, Kui-ko, dulu kau pura-pura menjauhi Enci Bwee, kiranya sekarang kau mau juga. Dasar laki-laki!"
Wajah Kui Lok sebentar merah sebentar pucat. Untuk mengusir rasa malunya dia pun lalu berkata, "Kau... kau Hong-moi... jadi kaukah yang membunuh sepuluh orang saudaraku tadi? Hong-moi, mengapa kau membunuh mereka? Dan mengapa pula kau melukai Suhu dan... dan merampas pedang pusaka?"
Kembali Kwa Hong tersenyum lebar, senyum yang dulu meruntuhkan hati Kui Lok, akan tetapi yang sekarang membayangkan sesuatu yang amat mengerikan.
"Lian Bu Tojin berani mencelaku dan dia seorang ketua yang tidak baik, seorang guru yang mencelakakan murid sendiri. Pedang pusaka ini memang patut berada di tanganku karena hanya akulah yang akan mampu mengangkat tinggi nama Hoa-san-pai. Tadi aku yang menjadi pemimpin dan ciang-bujin (ketua) baru Hoa-san-pai datang, tapi kalian tidak mau segera menyambut dengan penghormatan. Maka sepuluh orang murid tadi kubunuh sebagai peringatan!"
Setelah berkata demikian, Kwa Hong memandang ke sekelilingnya dan semua orang tosu yang berada di situ mengkeret lehernya, menundukkan pandang matanya karena nyali mereka terbang lenyap begitu mereka bertemu pandang dengan Kwa Hong.
Pada saat itu pula terdengar sayup-sayup suara orang berteriak dari bawah gunung, "Enci Hong... tunggu... jangan tinggalkan aku...!"
Suara itu berkumandang sampai di puncak gunung dan belum lama dengung suaranya lenyap, orangnya telah tiba di situ. Siapa lagi kalau bukan Koai Atong!
Diam-diam Kui Lok dan Thio Bwee kagum dan terkejut sekali. Sebagai ahli-ahli silat tinggi dua orang muda ini dapat mengukur betapa hebatnya khikang dari Koai Atong sekarang, dari bawah gunung sudah dapat ‘mengirim suara’ ke atas dan ginkang-nya pun demikian hebat sehingga dalam sekejap saja sudah dapat mendaki puncak Hoa-san-pai.
Setelah sampai di situ, Koai Atong tertawa dan meringis gembira melihat Kwa Hong sudah berada di situ bersama burung rajawali. Di dalam perjalanan, Kwa Hong naik burung dan membiarkan Koai Atong berlari-lari mengikuti bayangan burung.
"Ha-ha-ha… he-he-he…, sudah kumpul semua di sini, ha-ha-ha!"
Tapi Kui Lok dan Thio Bwee tidak mempedulikan orang tinggi besar ini, karena mereka masih marah bukan main mendengar ucapan Kwa Hong tadi.
Kui Lok segera membentak, "Kwa Hong! Jadi kau hendak menggunakan kekerasan untuk merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai? Jangan kau berlaku sewenang-wenang, dan mengingat bahwa kau adalah bekas murid Hoa-san-pai sendiri, hayo lekas kembalikan pedang pusaka dan berlutut menerima dosa."
Mata Kwa Hong berkilat. "Kui Lok, kau begini kurang ajar terhadap ketuamu? Hayo kau yang berlutut!" Sambil bertolak pinggang Kwa Hong memerintah.
"Suheng, mari kita bunuh siluman ini!" Thio Bwee berseru keras.
Biar pun ia sudah tak berpedang lagi, dengan nekat ia lalu menyerang Kwa Hong dengan pukulan maut yang amat keras. Akan tetapi dengan enak Kwa Hong miringkan tubuhnya dan sekali kakinya bergerak, Thio Bwee sudah kena ditendang roboh!
Kui Lok marah sekali dan menyerang dengan pedangnya. Kepandaian Kui Lok sudah maju pesat sekali dan dalam hal ilmu pedang, boleh dibilang kini dia sudah menjagoi di Hoa-san-pai. Apa lagi permainan pedangnya dilakukan dengan tangan kiri, maka sifatnya pun istimewa dan sukar diketahui perubahan-perubahannya.
Ketika Kwa Hong belum meninggalkan perguruan, kalau dibuat ukuran antara mereka, agaknya ilmu pedang Kui Lok tidak kalah oleh kepandaian Kwa Hong, maka pemuda itu dengan penuh semangat menyerang dan mengira bahwa tak mungkin ia akan kalah.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tahu-tahu cambuk bertali yang berada di tangan kiri Kwa Hong bergerak, tahu-tahu lima ujung cambuk dengan anak panah itu telah membelit pedangnya dan sekali renggut Kui Lok tak dapat mempertahankan pegangannya lagi. Pedangnya terampas oleh Kwa Hong.
Sambil tertawa melengking tinggi Kwa Hong mengambil pedang itu, menggigit ujungnya, menggerakkan tangan dan...
"Pletakk!"
Pedang itu patah menjadi dual Gerakannya sama benar dengan cara burung rajawali mematahkan pedang.
Kui Lok menjadi pucat, akan tetapi untuk menjaga nama Hoa-san-pai ia harus melawan mati-matian. Sambil berseru keras ia menerjang maju dan menyerang Kwa Hong dengan pukulan-pukulan dahsyat.
"Atong, kau hajar dan usir bocah ini, tapi jangan bunuh dia!" kata Kwa Hong.
Terdengar Koai Atong tertawa-tawa berkakakan dan mendadak Kui Lok merasa tubuhnya diangkat orang lalu dilontarkan ke atas sampai empat lima meter tingginya. Tubuhnya lalu melayang dan berjungkiran di udara, ketika turun diterima lagi oleh Koai Atong kemudian dilontarkan lagi. Benar-benar Kui Lok sedang dijadikan bola oleh Koai Atong yang terus mempermainkannya.
"Siluman jahat!" Kui Lok memaki.
Akan tetapi makin lama ia menjadi makin lemah dan ketika Koai Atong melemparnya ke depan, tubuhnya terbanting lantas bergulingan. Dengan payah Kui Lok mencoba untuk berdiri, akan tetapi kepalanya pening dan ia roboh kembali, ditertawai oleh Koai Atong dan Kwa Hong.
Thio Bwee lari mendekat dan membantu Kui Lok bangun. Dia menyuruh Kui Lok duduk kemudian dengan marah sekali Thio Bwee meloncat lagi untuk menyerang Kwa Hong. Tadi dia hanya terbanting saja dan hal ini belum membuat dia kapok. Hatinya terlalu sakit menyaksikan betapa kekasihnya dipermainkan dan dihina seperti itu.
Melihat kenekatan Thio Bwee, Kwa Hong menjadi marah sekali. "Perempuan rendah, kau tidak tahu bahwa aku sudah berlaku murah kepada kalian? Agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit!" Setelah berkata demikian, cambuknya bergerak dan sinar hijau berkelebat.
Thio Bwee menjerit dan terjungkal, juga Kui Lok mengaduh dan roboh. Keduanya dapat merayap bangun kembali, tetapi ternyata bahwa dua murid Hoa-san-pai ini telah terluka oleh panah hijau, masing-masing pada pundaknya. Perih dan panas rasanya, akan tetapi tidak seperih dan sepanas hati mereka.
"Pergi...!" Kwa Hong menudingkan cambuknya keluar. "Pergi sebelum pikiranku berubah lagi dan kuhancurkan kepala kalian!"
Thio Bwee memandang dengan mata melotot, maksud hatinya hendak melawan lagi sampai mati. Akan tetapi Kui Lok yang melihat sikapnya ini segera memegang lengannya dan menariknya pergi dari situ. Dua orang muda itu pergi meninggalkan puncak seperti dua ekor anjing diusir saja, benar-benar merupakan hal yang teramat menyakitkan hati mereka.
Seperginya dua orang muda itu keadaan menjadi sunyi. Puluhan orang tosu Hoa-san-pai tidak ada yang berani bergerak, bernapas pun mereka takut keras-keras. Kwa Hong menyapu mereka dengan pandang matanya yang tajam melebihi pedang.
"Siapa mau pergi? Siapa tidak mau menurut perintahku? Lihat contohnya."
Cambuknya menyambar beberapa kali dan... kepala dari sepuluh mayat para tosu tadi sudah terpukul hancur oleh panah-panah di ujung cambuknya! Benar-benar mengerikan sekali.
"Hayo katakan, kalian mau mengangkatku sebagai ketua ataukah tidak?"
Seorang tosu yang sudah agak tua maklum bahwa melawan berarti mati dengan cara yang mengerikan, dan melawan pun akan sia-sia saja. Maka ia lalu mendahului teman-temannya berlutut dan menyatakan suka mengangkat Kwa Hong sebagai ketua. Saudara-saudaranya pun menjatuhkan diri berlutut.
Kwa Hong tertawa gembira, tapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti ketika ia melihat Koai Atong masih berdiri tegak sambil tertawa-tawa.
"Heiii... kenapa kau tidak berlutut?"
Koai Atong kaget dan bingung. "Lho... berlutut? Aku kan suamimu..."
"Tidak peduli, saat ini semua orang harus berlutut kepadaku!" bentak Kwa Hong sehingga terpaksa Koai Atong berlutut pula.
Kwa Hong mengangkat dada, mengedikkan kepala dengan penuh kebanggaan, dan dia merasa seakan-akan telah menjadi seorang ratu!
Semenjak saat itu Kwa Hong tinggal di Hoa-san-pai sebagai seorang ketua, dibantu oleh ‘suaminya’ Koai Atong. Ketua yang baru ini amat ditakuti oleh para tosu, akan tetapi juga diam-diam ada sebagian besar tosu Hoa-san-pai yang sangat membencinya.
Di samping ini, tentu saja terdapat pula tosu-tosu yang merasa amat girang oleh karena semenjak Kwa Hong yang menjadi ketua, peraturan-peraturan menjadi tidak tegas lagi, dan larangan-larangan juga seakan-akan dihapuskan oleh Kwa Hong. Oleh karena ini banyak tosu yang mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan tidak mentaati hukum dan peraturan Agama To.
Orang-orang inilah yang benar-benar setia kepada Kwa Hong dan Koai Atong sehingga secara tersembunyi di antara kelompok tosu-tosu Hoa-san-pai ini terdapat pemisah antara rombongan yang pro Kwa Hong dengan rombongan yang diam-diam kontra. Akan tetapi kesemuanya tidak berani berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Kwa Hong dan Koai Atong.
Sementara itu, Kwa Hong beserta Koai Atong terus memperdalam latihan-latihan mereka secara sembunyi, mempelajari semua gerakan-gerakan aneh dari burung rajawali emas. Mereka berdua menggabungkan pendapat masing-masing untuk menciptakan ilmu silat yang sangat hebat, gabungan dari ilmu silat Hoa-san-pai, ilmu silat Tibet, Jing-tok-ciang, dan gerakan dari burung rajawali emas!
Peristiwa perampasan kedudukan ketua di Hoa-san-pai ini menimbulkan geger di dunia kang-ouw yang baru saja tenang akibat tumbangnya Pemerintahan Mongol. Banyak tokoh besar di dunia kang-ouw mengerutkan kening dan merasa penasaran sekali…..
********************
Mari kita ikuti Kui Lok dan Thio Bwee yang meninggalkan puncak Hoa-san-pai dengan perasaan hancur. Mereka terluka hebat di pundak mereka, terkena racun panah hijau yang amat berbahaya. Namun luka di hati mereka lebih hebat lagi. Mereka tidak saja telah dikalahkan secara mudah dan memalukan sekali, akan tetapi lebih dari pada itu, mereka telah terhina. Di sepanjang jalan menuruni puncak Thio Bwee menangis sehingga Kui Lok sibuk menghiburnya.
"Kui-koko, dari pada mengalami penderitaan dan penghinaan seperti ini lebih baik aku mati saja... kenapa tadi kita tidak melawan terus saja sampai mati? Untuk apa hidup lebih lama menghadapi penghinaan seperti ini...?"
Saking sedihnya dan juga karena luka beracun di pundaknya membuat tubuhnya lemas, gadis ini terhuyung-huyung ke depan. Kui Lok cepat-cepat mengejar dan merangkulnya. Dia merasa amat kasihan kepada gadis ini dan sinar matanya memandang penuh kasih sayang.
Sejenak mereka berpandangan, dan akhirnya Thio Bwee menangis terisak-isak di atas dadanya. Kui Lok menggunakan tangannya dengan mesra dan halus mengusap air mata yang bercucuran membasahi pipi Thio Bwee.
"Bwee-moi, jangan berduka, jangan putus harapan. Selama kita masih berdua, kesukaran apa yang takkan kuat kita hadapi? Ah, Bwee-moi... setelah ini hari aku melihat Kwa Hong, baru terbuka betul-betul mataku betapa bodohku dahulu, tak dapat membedakan antara batu permata dan batu karang. Dia begitu jahat, begitu kejam dan ganas seperti siluman sedangkan kau... kau begini gagah perkasa, mulia dan halus. Bwee-moi, marilah kita pergi mencari Supek Lian Ti Tojin untuk mohon pertolongannya, tidak hanya kepada kita yang terluka hebat... tapi terutama sekali... untuk menyelamatkan Hoa-san-pai kita..."
Mendengar ini, Thio Bwee mengangkat mukanya, memandang dengan mata terbelalak. "Pergi... ke... Im-kan-kok?!"
Mau tidak mau tersenyum juga Kui Lok melihat wajah kekasihnya begitu ketakutan. Ahhh, gadis yang tidak takut menghadapi kematian ini sekarang takut begitu mendengar nama Im-kan-kok!
"Bwee-moi, apa kau takut?"
"Tidak... tidak asal bersama engkau... tapi... aku ngeri juga, Koko..."
"Setelah keadaan kita seperti ini, apa lagi yang harus ditakuti, Moi-moi? Hayolah kita percepat usaha untuk mencari Supek." Keduanya lalu berjalan lagi bergandengan tangan, hati mereka telah bulat nekat untuk mencari supek mereka.
Yang disebut Im-kan-kok (Lembah Akhirat) adalah sebuah lembah gunung di Hoa-san yang amat mengerikan keadaannya dan tidaklah aneh kalau tempat yang terlarang bagi para anggota Hoa-san-pai ini jarang atau tidak pernah didatangi manusia. Kalau pun ada manusia kebetulan datang ke tempat itu, hendak apa dan mencari apakah?
Jurang yang amat lebar dan dalamnya tak dapat diukur dengan pandangan mata itu sunyi mengering di sebelah kirinya, penuh batu-batu karang yang merupakan lerengnya atau tebingnya, tajam runcing licin tak mungkin dituruni manusia. Di sebelah kanan lain lagi pemandangannya, penuh pohon-pohon dan di antara pohon-pohon yang tumbuhnya tidak karuan dan liar malang-melintang itu terdapat tiga buah air terjun yang sangat tinggi. Keadaan sebelah kiri dan kanan benar-benar merupakan pemandangan yang berlawanan sekali, padahal keduanya merupakan bagian dari Im-kan-kok itu.
Dengan susah payah Kui Lok dan Thio Bwee berjalan melalui jalan liar yang amat sukar, merayap-rayap melalui pinggir lembah. Kaki mereka sakit-sakit dan bagian tubuh yang tidak tertutup kain baret-baret terkena duri-duri tetumbuhan liar yang selalu menghadang di depan mereka. Setengah hari mereka berjalan dengan penuh kesukaran ini, dengan hati berdebar-debar pula karena sebagai murid-murid Hoa-san-pai mereka maklum bahwa mereka telah memasuki daerah terlarang bagi orang-orang Hoa-san-pai.
Tentang Lian Ti Tojin di Im-kan-kok ini, hanya sedikit mereka mendengar dari mendiang Lian Bu Tojin. Ketua Hoa-san-pai itu hanya mengatakan bahwa Lian Ti Tojin telah memilih Im-kan-kok sebagai tempat untuk mengasingkan diri dan menghukum diri, dan Im-kan-kok dianggap sebagai tempat pelaksanaan hukuman.
Tidak diceritakan kesalahan apakah yang dilakukan Lian Ti Tojin itu maka dia menghukum diri sendiri di situ. Hanya berkali-kali Ketua Hoa-san-pai itu melarang murid-muridnya memasuki daerah terlarang ini dengan ancaman mati, malah berkata pula bahwa ilmu silat yang dimiliki oleh Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-san-pai yang amat tinggi, beberapa kali lebih tinggi dari pada ilmu silat yang dimiliki Lian Bu Tojin sendiri. Selain ini, ketika mengasingkan diri empat puluh tahunan yang lalu, Lian Ti Tojin juga mengancam bahwa siapa saja berani mengganggunya di Im-kan-kok pasti akan dibunuhnya!
“Lembah ini begitu luas, ke mana kita dapat mencarinya?" bisik Tio Bwee kepada Kui Lok ketika mereka sedang beristirahat di bagian yang penuh pohon-pohon yang merupakan hutan-hutan liar. Di depan mereka tampak air terjun pertama yang airnya berwarna-warni tertimpa sinar matahari.
"Memang sukar apa bila harus mencari begitu saja. Akan tetapi janganlah kau khawatir, Moi-moi. Dahulu aku pernah mendengar dari mendiang ayahku ketika ayah mendongeng mengenai Supek di Im-kan-kok. Menurut ayah, di bagian terbawah dari air terjun yang berada di tengah-tengah dan yang terbesar, terdapat sebuah goa yang amat besar. Goa ini terletak di belakang air terjun dari atas. Nah, agaknya di situlah Supek Lian Ti Tojin bertapa.”
Thio Bwee memandang ke depan. Dari tempat itu sudah kelihatan air terjun yang paling besar itu, di tengah-tengah antara dua air terjun lainnya. Suara air terjun bergemuruh menimbulkan pendengaran yang menyeramkan dan melihat air terjun yang ratusan meter dalamnya itu membuat Thio Bwee merasa ngeri. Tak terasa lagi ia memegang tangan Kui Lok erat-erat.
"Aduh...!" Kui Lok mengeluh.
Thio Bwee terkejut dan menengok. Ternyata dia tadi sudah memegang lengan yang kiri dengan tangan kanannya dan lengan kiri Kui Lok telah agak membengkak dengan warna kehijauan. Bukan main kagetnya, apa lagi ketika pada saat itu baru ia tahu bahwa tangan kirinya juga membengkak dan agak kehijauan, dan sakit sekali kalau ditekan. Ternyata bahwa luka di pundak kiri mereka telah makin menghebat, agaknya racun telah menjalar sampai ke lengan tangan.
Mereka berpandangan, maklum akan keadaan mereka itu yang sangat berbahaya. Sinar mata mereka sudah banyak menyatakan isi hati mereka dan keduanya menjadi berduka sekali. Kui Lok menarik tangan kanan Thio Bwee diajak berdiri.
"Moi-moi..." katanya dengan suara gemetar, "kita harus cepat-cepat pergi dari sini dan cepat menjumpai Supek, kalau tidak... aku khawatir tak ada waktu lagi...”
Thio Bwee mengangguk dan kedua orang muda ini kembali berjalan dengan susah payah, menyelinap di antara tetumbuhan berduri, menuju ke arah air terjun yang ke dua. Akhirnya sampai juga mereka di tempat itu. Air selebar lima meter lebih terjun dari atas, berkilauan ditimpa sinar matahari. Biar pun air itu terjun amat dalamnya, namun suara air menimpa batu-batu di bawah terdengar dari tempat itu, malah suaranya berkumandang di empat penjuru gunung.
Ketika dua orang itu menengok ke bawah, hati mereka berdebar menyaksikan betapa dalamnya lembah itu. Bagaimana mereka harus turun mendekati dasar lembah?
Setelah mencari-cari dengan pandang matanya, akhirnya Kui Lok berkata, "Bwee-moi, terpaksa kita harus turun melalui pohon-pohon dan tetumbuhan, kita harus merayap ke bawah. Perjalanan ini amat sukarnya, dan amat berbahayanya, akan tetapi, Moi-moi, kali ini kita berjuang untuk nyawa kita."
Thio Bwee menjenguk ke bawah, lalu memandang kekasihnya sambil tersenyum pahit. "Aku mengerti, Koko. Bersamamu aku akan kuat menghadapi apa saja."
Mendengar pernyataan ini, dengan terharu Kui Lok lalu mengusap rambut kepala Thio Bwee kemudian berbisik, "Mati hidup kita tak akan berpisah lagi, adikku." Setelah berkata demikian pemuda ini lalu mulai menuruni tebing yang amat dalam dan curam itu, diikuti oleh Thio Bwee.
Baiknya dua orang ini merupakan orang-orang yang sudah terlatih semenjak kecil. Tubuh mereka kuat dan ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Andai kata mereka tidak terluka, kiranya pekerjaan menuruni tebing sambil bergantungan atau berpegangan pada akar-akar dan pepohonan ini akan merupakan hai yang amat mudah bagi mereka.
Akan tetapi keadaan mereka sekarang amat buruk. Selain tubuh lemas akibat penderitaan batin, juga tangan kiri mereka sakit dan hampir lumpuh sehingga untuk menuruni tebing hanya mengandalkan kedua kaki dan tangan kanan saja. Sedangkan tangan kiri mereka hanya dipergunakan untuk membantu belaka.
Dua jam lebih mereka harus merayap dan bergantungan di antara akar-akar pohon dan batu-batu. Akhirnya mereka bergantungan pada pohon terakhir dan tidak bisa turun ke bawah lagi! Bagaimana pun mereka mencari-cari, tidak ada lagi tempat untuk berpegang atau berinjak, jalan ke bawah sudah putus.
Ketika mereka menengok ke bawah, tampak oleh mereka air terjun itu menimpa dasar lembah dan menimbulkan uap air yang tebal. Samar-samar tampak air di bawah mereka, air yang berputaran seperti air mendidih, tetapi amat lebarnya seperti sebuah telaga kecil yang terjadi karena air terjun itu.
"Bagaimana, Koko?" tanya Thio Bwee terengah-engah kelelahan.
Kui Lok mengerutkan kening. "Tidak mungkin turun lagi secara tadi, Moi-moi. Kembali naik juga lebih sukar. Jalan satu-satunya kita harus berani terjun ke bawah."
"Terjun ke air itu...?"
"Sedikit-sedikit kita dapat berenang, tak perlu takut, Bwee-moi. Mari, ikuti aku!"
Dengan nekat Kui Lok lalu meloncat ke bawah dan Thio Bwee segera mengikutinya. Dua orang muda itu melayang-layang turun dari tempat yang tingginya masih ada belasan meter, akan tetapi yang keadaan bawahnya tidak dapat tampak nyata karena uap air yang tebal.
"Byurr! Byurr!"
Air muncrat tinggi ketika tubuh dua orang muda itu tiba di permukaan air yang luar biasa dinginnya. Akan tetapi alangkah kaget rasa hati Kui Lok dan Thio Bwee ketika mereka mendapat kenyataan bahwa air itu berputar amat kuat, merupakan ulekan (air berputar) besar. Tubuh mereka hanyut terseret oleh putaran itu, tenaga putaran demikian besarnya sehingga mereka tak berdaya, tidak mampu berenang ke pinggir. Kui Lok maklum bahwa kalau terus-menerus begini, mereka akan celaka.
"Bwee-moi, tahan napas, menyelam terus berenang ke arah pinggir sana, ke belakang air terjun!" teriaknya dengan napas terengah-engah payah.
Setelah gadis itu memberi isyarat bahwa dia sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh kekasihnya, mereka lalu menyelam dan benar saja, di bagian bawah ternyata tenaga putaran itu tidak hebat lagi dan dengan mudah mereka dapat berenang melalui air terjun.
Akhirnya keduanya dapat mendarat di belakang air terjun dengan napas hampir putus dan tenaga habis. Tetapi, bukan main girang hati mereka karena melihat sang kekasih berada di sampingnya. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut dan Thio Bwee tak kuasa menahan air matanya. Kui Lok memeluknya dan pada saat itu hati ke dua orang muda ini makin bersatu dan makin teguh cinta kasih mereka.
"Bwee-moi, biar pun aku tahu kau amat lelah, akan tetapi terpaksa kita harus melanjutkan penyelidikan kita. Kita sudah sampai di tempat yang dimaksudkan."
Keduanya berdiri dan memeriksa tempat itu. Di balik air terjun ini benar saja terdapat goa yang amat besar dan dalam. Suara air terjun bergemuruh amat hebatnya sehingga kalau mereka ingin bicara, mereka harus saling berdekatan dan bersuara keras-keras.
Sambil begandengan tangan dua orang muda ini merangkak-rangkak memasuki goa itu, kemudian dengan berani dan nekat mereka terus maju memasuki lubang besar yang merupakan terowongan gelap. Mula-mula terowongan yang panjang dan lebar itu gelap sekali dan amat licin sehingga dua orang muda ini harus meraba-raba dan merangkak, akan tetapi setelah masuk kurang lebih dua ratus meter, mulai tampak sinar terang dari depan dan jalan tidak begitu licin lagi.
Setelah membelok tiga kali mereka tiba di sebuah ruangan di bawah tanah yang amat luas dan terang karena sinar matahari masuk dari atas kanan kiri yang terbuka. Tempat ini bersih sekali dan kelihatan beberapa buah benda berbentuk meja kursi terbuat dari pada batu. Malah di sebelah depan tampak dua buah lubang berbentuk pintu. Tak salah lagi, tempat seperti ini sudah pasti didiami manusia.
Tiba-tiba terdengar suara parau. "Apa kalian mempunyai nyawa rangkap maka berani masuk ke sini?!"
Dua orang muda itu membelalakkan mata dan memandang tajam, tetapi mereka hanya melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu mereka pun roboh dengan pandang mata berkunang-kunang. Thio Bwee segera roboh pingsan, sedangkan Kui Lok sebelum pingsan masih sempat berkata perlahan, "Teecu dari Hoa-san-pai..."
Entah berapa lama mereka berdua roboh pingsan, tahu-tahu ketika dia siuman, Kui Lok mendapatkan dirinya bersama Thio Bwee sudah berada di dalam sebuah kamar batu yang kering dan berhawa hangat nyaman. Cepat ia bangun dan menolong Thio Bwee.
Hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu juga sudah mulai sadar. Penerangan di kamar ini suram, hanya diterangi dengan sebuah lampu sederhana di atas meja batu.
"Ahhh, kiranya sudah malam..." pikir Kui Lok dan ia melihat Thio Bwee bergerak hendak bangun.
Dua orang ini saling berpandangan. Keduanya merasa bersyukur masih dapat melihat masing-masing dalam keadaan selamat.
"Koko... mana... mana dia?" bisik Thio Bwee.
"Tenanglah, Moi-moi. Siapa yang menempati tempat ini, tentulah orang baik-baik, buktinya kita tak diganggu malah dibawa ke tempat ini. Lebih baik kita beristirahat dan memulihkan tenaga sambil menanti datangnya pagi."
Dua orang muda yang maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi hal-hal yang hebat, bahkan mungkin hal yang amat berbahaya, segera duduk bersila dan bersemedhi untuk menjernihkan pikiran dan menenangkan hati serta memulihkan tenaga yang telah terlalu banyak dikerahkan ketika mencari goa ini.
Mula-mula memang sukar bagi mereka untuk bersemedhi, selalu saja timbul dalam pikiran mereka bayangan yang berkelebat tadi, dan terngiang di telinga mereka suara parau yang membentak marah. Akan tetapi karena dua orang ini adalah orang-orang gemblengan dari Hoa-san-pai, maka akhirnya dapat juga mereka menenangkan hati dan mengosongkan pikiran, duduk bersemedhi dengan tekun.....