PEGUNUNGAN Lu-liang-san terkenal sebagai gunung yang indah dan subur, terutama sekali hal ini disebabkan oleh Sungai Kuning yang mengalir di antara pegunungan ini. Banyak terdapat hutan-hutan lebat dan bagian-bagian yang amat indah penuh dengan pohon-pohon berbuah dan tanaman berbunga.
Hutan-hutan ini sebagian besar masih merupakan hutan liar yang asli, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Oleh karena itu, penghuni asli hutan-hutan itu, yaitu binatang-binatang besar kecil berkembang biak dengan amat subur sehingga daerah Pegunungan Lu-liang-san terkenal sebagai tempat yang sangat baik akan tetapi juga amat berbahaya bagi para pemburu.
Keindahan alam yang belum terjamah tangan manusia memang merupakan keindahan asli. Apalagi di musim semi pada waktu pohon-pohon penuh dedaunan, sedangkan di musim rontok saja terdapat keindahan asli yang menggerakkan hati setiap orang yang dapat menghargai keindahan alam yang asli.
Lihatlah daun-daun yang melayang turun saat rontok dari tangkainya. Melayang-layang bebas lepas seakan-akan kupu-kupu bercanda menimbulkan suara gemerisik yang tak ada hentinya. Daun-daun kering rontok, dan dengan rela memberi kesempatan untuk berseminya daun-daun baru yang akan menggantikan kedudukannya. Daun-daun kering merontok untuk membusuk dan menjadi pupuk bagi daun-daun baru.
Rontok dan semi, hilang yang tua muncullah yang baru. Di dunia ini mana yang tidak terlewat oleh hukum alam ini? Yang tua lenyap untuk memberi tempat bagi yang muda, yang muda akhirnya pun tua dan lenyap untuk mengulang sejarah yang lalu.
Gemerisik daun-daun kering rontok melayang turun diselingi suara air Sungai Huang-ho yang tidak penuh airnya. Air bermain dengan batu-batu, berdendang lagu bahagia tak kunjung henti. Suara daun kering rontok dan bunyi air sungai berdendang merupakan perpaduan suara yang amat indah, kadang-kadang diramaikan suara burung di pohon dan sekali-kali terdengar raungan binatang buas dari dalam semak-semak belukar.
Betapa pun besar bahaya rnengancam keselamatan manusia yang berani memasuki hutan-hutan ini, yaitu bahaya dari ancaman binatang-binatang buas, akan tetapi tetap saja akhirnya ternyata bahwa manusialah makhluk yang paling kuat di antara segala makhluk hidup di dunia ini.
Pagi hari itu, di kala sinar matahari berebutan menerobos ke celah-celah daun pohon yang mulai menggundul dan burung-burung tengah ramai bersaing kemerduan kicau mereka terdengar suara lain di dalam hutan itu. Suara manusia!
Burung-burung yang terdekat dengan tempat itu menghentikan kicaunya, sebagian lalu terbang pergi ketakutan. Binatang-binatang kecil berlarian menyelinap masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang besar mengintai dengan penuh kecurigaan dari balik gerombolan belukar. Seluruh perhatian para mahkluk dalam hutan tertuju kepada mahkluk aneh yang tak pernah mereka lihat itu. Manusia!
Manusiakah yang menjadi pusat perhatian para binatang itu? Jangankan para binatang yang tak pernah atau jarang sekali melihat manusia, sedangkan manusia-manusia sendiri kiranya akan tercengang keheran-heranan apa bila melihat orang yang tengah berada di dalam hutan seorang diri ini.
Dia adalah seorang lelaki tinggi besar. Pakaiannya berpotongan longgar dan terbuat dari bemacam-macam kain warna-warni yang disambung-sambung. Sepatunya, sepatu besar, juga berkembang!
Sukar menaksir umur orang ini. Yang terang dia sudah lewat dewasa, karena tubuhnya demikian tinggi besar. Melihat perawakan dan wajahnya yang sudah masak, sedikitnya dia telah berusia empat puluh lima tahun. Akan tetapi melihat kebodohan kanak-kanak yang membayang pada wajahnya, melihat bentuk pakaian dan warna sepatunya serta sikapnya yang sedang bermain-main seorang diri, dia masih seperti seorang kanak-kanak!
Memang dia seorang kanak-kanak yang sudah tua, atau seorang tua yang memiliki jiwa kanak-kanak. Karena keanehan inilah maka di dunia kang-ouw ia terkenal sekali dengan nama poyokan Koai Atong (Bocah Aneh).
Jangan dipandang rendah Koai Atong ini. Banyak orang Kang-ouw, jagoan ternama yang berkepandaian tinggi, akhirnya kecele pada saat mereka berani memandang rendah Koai Atong. Dia adalah murid tunggal seorang sakti dari Tibet, seorang hwesio yang bernama Ban-tok-sim Giam Kong.
Melihat nama julukannya saja, Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun), mudahlah dibayangkan orang macam apa hwesio Tibet ini. Namanya saja sudah cukup membuat seorang tokoh kang-ouw lari tunggang langgang.
Koai Atong tertawa-tawa dan berkata-kata seorang diri di dalam hutan itu. Dia sedang melatih Jing-tok-ciang (Tangan Racun Hijau), yaitu semacam ilmu pukulan yang paling diandalkan oleh suhu-nya. Walau pun anak tua ini kelihatan ketolol-tololan, akan tetapi bakatnya dalam hal ilmu silat bukan main hebatnya.
Kalau tidak demikian, tak mungkin seorang sakti seperti Ban-tok-sim Giam Kong mau mengambilnya sebagai murid tunggal. Hampir seluruh ilmu kepandaian Giam Kong sudah diwarisi Koai Atong, malah dalam hal ilmu Pukulan Jing-tok-ciang, Koai Atong tak pernah berhenti untuk berlatih dan memperdalam.
“Kau harus roboh, harus roboh!” katanya sambil memutar-mutar lengan kirinya laksana orang memutar gilingan kopi, kemudian tiba-tiba tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah sebatang pohon.
Tidak terdengar suara apa-apa, akan tetapi semua daun kering di pohon itu merontok dan... pohon yang batangnya sebesar paha orang itu mulai tumbang karena batangnya sudah membusuk. Bukan main lihainya pukulan Jing-tok-ciang ini, dan demikian jahatnya sehingga batang pohon yang tadinya masih segar menjadi busuk terkena hawanya yang beracun.
Koai Atong terkekeh-kekeh gembira, lalu melanjutkan latihannya dengan memukul pohon yang lebih besar. Sebentar saja di situ telah rebah beberapa batang pohon, akan tetapi ia juga terduduk kelelahan karena terlampau banyak mengerahkan tenaga Iweekang dalam latihan pukulan mukjijat ini. Seperti orang gendeng anak tua ini tertawa-tawa girang karena hasil latihannya tadi memuaskan hatinya.
Akan tetapi tiba-tiba ia kaget mendengar bunyi kelepak sayap burung besar dan ia melihat seekor burung rajawali berbulu putih sedang menukik turun tak jauh dari tempat ia duduk beristirahat. Cepat ia melompat dan berindap-indap mendekati tempat itu.
Bukan main hebatnya burung ini. Besar bukan main, kalau berdiri semeter lebih tingginya. Burung ini menukik turun lantas menerjang ke arah semak-semak dan... dalam sekejap mata saja dia menerkam seekor kijang yang bersembunyi di situ.
Kasihan kijang ini, sama sekali tak dapat melawan. Sekali cengkeram, kuku-kuku runcing melengkung itu menusuk perut menembus kulit dan daging. Kijang berkelojotan sebentar dan mati tak lama kemudian.
Rajawali dengan sepasang matanya yang bening berapi itu mendengus dan melepaskan korbannya, kemudian terbang pergi meninggalkan bangkai kijang begitu saja. Koai Atong terheran-heran. Gilakah burung itu, pikirnya. Sudah membunuh kijang kenapa tidak terus dimakan, malah ditinggal pergi? ia masih bersembunyi, seperti anak kecil ia girang dapat mengintai perbuatan ‘orang’ lain.
Akhirnya dia jemu juga karena si rajawali yang sangat gagah dan bagus itu tidak datang kembali. Tadinya dia berniat menanti, kalau burung itu datang kembali akan ditubruk dan ditangkapnya.
Baru saja ia hendak keluar dari tempat sembunyinya untuk mengambil bangkai kijang dan dipanggang dagingnya, terdengar auman keras dan muncullah seekor harimau dari balik semak belukar. Harimau itu keluar dengan perlahan-lahan, hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya menyeringai dengan air liur menetes-netes turun. Agaknya ia telah mencium bangkai kijang, atau bau darah maka ia datang ke tempat itu.
Begitu melirik ke kanan kiri tidak terdapat bahaya, harimau itu memburu ke arah bangkai kijang. Akan tetapi mendadak dari arah lain muncul seekor harimau hitam yang langsung menerjang harimau belang itu.
Terjadi pergumulan seru, cakar-mencakar, gigit-menggigit sangat hebatnya. Koai Atong terkekeh-kekeh senang, bertepuk-tepuk tangan seperti anak kecil menonton pertunjukan wayang di mana tokoh-tokohnya berperang tanding.
"Hayo gigit hidungnya, cakar kupingnya. Hah-hah, heh-heh-heh!"
Akhirnya si harimau belang harus tunduk terhadap hukum rimba yang berlaku semenjak dunia berkembang sampai sekarang ini. Siapa kuat dia benar dan menang. Siapa lemah dia salah dan kalah!
Sambil meraung-raung dengan leher yang terluka hingga berdarah, harimau belang berlari tunggang-langgang. Lawannya, si harimau hitam itu tidak mengejarnya, sebaliknya segera menghampiri biang keladi pertempuran tadi, si bangkai kijang. Ia mencium-cium, agaknya menikmati bau bangkai dan darah kijang, lalu menjilat-jilat darah yang mulai mengering.
"Heh-heh-heh, sergap! Sergap dari atas!" tiba-tiba Koai Atong berteriak-teriak girang.
Anak tua itu dengan pandangan matanya yang tajam dan telinganya yang terlatih dapat mendengar suara menggelesernya tubuh ular besar di pohon, sebelah atas harimau hitam itu.
Mendengar suara Koai Atong, si harimau menjadi kaget. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi lebih terkejut dan marah lagi ketika pada saat itu ada seekor ular sebesar paha manusia meluncur dari atas dan serta-merta menyerang. Kembali terjadi pertandingan mati-matian untuk menentukan berlakunya hukum rimba.
Harimau hitam itu ganas sekali, mencakar, menggigit sampai kulit ular robek-robek. Akan tetapi setelah ia kena dibelit, mulailah ia merasa-payah, lalu membanting diri ke kanan kiri. Si ular tidak mau melepaskan belitannya, malah segera menggigit leher harimau itu, tak mau melepaskan lagi.
Ramai sekali pertandingan ini dan makin sukalah hati Koai Atong. Akhirnya harimau roboh tak berkutik lagi, mati karena gigitan dan belitan ular yang amat kuatnya itu. Binatang yang kali ini menang, melepaskan lilitannya, lalu terjadilah hal lucu yang membuat Koai Atong terkekeh-kekeh di tempat persembunyiannya.
Ular besar itu agaknya bimbang ragu, yang mana harus dia ganyang lebih dulu di antara dua hidangan lezat ini. Sebentar dia merayap ke bangkai kijang, menjilat-jilat, lalu kembali merayap ke bangkai harimau hitam. Ada empat lima kali dia beragu seperti itu.
Tiba-tiba Koai Atong berseru, "Ha-ha-ha, pemiliknya datang!"
Benar saja. Dari atas melayang turun dua ekor burung rajawali putih. Sekarang tahulah Koai Atong bahwa rajawali yang menerkam kijang tadi pergi untuk memanggil anaknya. Sekarang ia telah datang kembali bersama seekor rajawali putih lain yang lebih kecil dan kelihatan masih amat muda.
Dan sekarang ternyata bahwa binatang ular itu agaknya lebih cerdik dari pada binatang-binatang yang lain. Begitu melihat dua ekor burung yang besar dan kuat ia maklum bahwa ia takkan kuat melawannya. Ia mengeluarkan suara mendesis karena kecewa dan marah, akan tetapi lalu menggeleser lari bersembunyi ke dalam semak-semak.
"Heei! Pengecut kau! Datang yang kuat lari tunggang-langgang!" Koai Atong berteriak-teriak dan memaki-maki ular.
Dua ekor burung rajawali putih itu kaget mendengar suara orang. Mereka menengok ke kanan kiri, nampaknya marah sekali. Pada saat itu Koai Atong sudah siap sedia untuk meloncat keluar dan menangkap burung yang lebih besar. Akan tetapi kembali ia terkejut ketika mendengar suara melengking yang amat nyaring dari atas dan daun-daun pohon bergerak-gerak tertiup angin keras.
Mendadak tanpa memperdengarkan kelepak sayap seperti dua ekor rajawali putih tadi, dari atas menyambar turun bayangan kuning keemasan yang menyilaukan mata. Ternyata yang menyambar turun ini adalah seekor burung rajawali pula. Besarnya tidak luar biasa, tidak lebih besar dari pada rajawali putih itu, malah kepalanya lebih kecil dan dadanya lebih kurus. Akan tetapi yang aneh adalah bulunya yang berwarna kuning keemasan, bersih dan mengkilap amat indahnya, seakan-akan bulu-bulunya terbuat dari pada sutera emas.
Ketika dua ekor burung rajawali putih itu melihat si rajawali emas, mereka kelihatan amat ketakutan, mengeluarkan suara merintih-rintih. Tetapi sebaliknya, rajawali emas yang baru datang mengeluarkan suara melengking yang nyaring hingga menyakitkan anak telinga, nampaknya marah sekali, kemudian tiba-tiba wajahnya bergerak ke depan, patuknya yang runcing agak melengkung itu bergerak-gerak seperti bibir orang bicara, lehernya bergerak dan... Koai Atong mengeluarkan seruan heran, kaget, dan kagum.
Dia adalah seorang ahli silat yang berpemandangan tajam. Walau pun dia dalam urusan umum merupakan seorang yang tolol seperti kanak-kanak, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia termasuk seorang ahli.
Namun gerakan rajawali emas tadi sama sekali tak dapat ia ikuti dengan penglihatannya, tahu-tahu kedua ekor rajawali putih tadi sudah roboh dengan kepala berlubang dan mati pada saat itu juga! Saking herannya Koai Atong sampai berdiri bengong dan melihat ke arah rajawali emas itu.
Rajawali emas itu berdiri dengan gagahnya, mengangkat dada, mengeluarkan suara tiga kali lalu menghampiri bangkai harimau yang menggeletak di sana. Kepalanya bergerak, paruhnya meyambar.
“Crattt!”
Ketika paruhnya dicabut ternyata paruh itu telah menggigit sebuah benda merah, yaitu jantung harimau tadi. Sekali telan lenyaplah jantung itu, kemudian ia menghampiri kijang dan seperti juga tadi, sekali paruhnya menyambar dia sudah berhasil mengambil jantung kijang. Setelah itu ia mengambil dan makan jantung dua ekor rajawali putih itu seperti cara tadi.
Koai Atong tak bisa menahan kekagumannya melihat gerakan ini. Ternyata paruh rajawali emas itu lebih hebat dari pada sebatang pedang di tangan seorang ahli. Ahli pedang yang mana pun juga kiranya takkan mungkin dapat meniru rajawali emas itu, sekali tusuk dapat mengambil jantung di dalam dada binatang-binatang tadi.
"Hebat! Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) kau benar-benar lihai sekali!"
Sambil berkata demikian Koai Atong berjingkrak-jingkrak keluar dari tempat sembunyinya, menghampiri rajawali emas itu dan mengacung-acungkan ibu jari tangan kanannya.
"Serrr…!"
Secepat kilat sayap kanan burung itu menyambar, didahului angin pukulan yang sangat dahsyat ke arah tubuh Koai Atong.
"Heee..., jangan...!" Koai Atong berseru kaget.
Cepat ia mengelak sambil merebahkan diri ke kanan, akan tetapi celaka baginya, gerakan sayap kanan burung itu ternyata hanya merupakan tipuan belaka karena yang bergerak sesungguhnya adalah sayap kirinya yang menyambar tanpa menerbitkan angin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Koai Atong terpukul oleh sayap kiri. Kekuatan pukulan ini hebat luar biasa sehingga tubuh Koai Atong mencelat dan menggelundung sampai lima meter jauhnya!
Baiknya Koai Atong sudah memiliki ilmu tinggi dan ketika merasa bahwa ia tidak dapat menghindarkan diri dari pukulan tadi, ia cepat menggerahkan Iweekang dan membiarkan tubuhnya didorong sampai bergulingan. Dia hanya merasa kepalanya agak pusing, tapi tidak terluka. Cepat ia bangun berdiri dan matanya membelalak lebar.
Pukulan rajawali itu benar-benar membuatnya makin kagum dan terheran-heran lagi. Seorang ahli silat kelas tinggi belum tentu akan sanggup merobohkannya dalam satu jurus saja! Dan gerakan burung ini benar-benar mengandung gerak tipu silat yang luar biasa.
"Kim-tiauw-heng, apa kau hendak bermain-main denganku? Hemmm, kalau kau mampu merobohkan aku lagi, benar-benar kau lihai dan aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Dia meloncat maju lagi ke depan burung itu yang memandang kepadanya dengan mata emasnya yang mengandung sinar mengejek dan menghina. Koai Atong sekarang sudah siap sedia untuk bertempur, maka begitu burung itu menyerangnya lagi dengan gerakan seperti tadi, yang memukul dengan sayap kanan yang mengeluarkan angin menderu, ia tidak mengelak ke kanan dan selalu memperhatikan gerakan sayap kiri.
Akan tetapi ternyata burung itu tidak mengubah gerakannya. Sseperti tadi sayap kirinya menyusul dengan tamparan yang tidak mengeluarkan angin, tamparan yang tadi sudah membuat Koai Atong terguling-guling.
"Ha-ha-ha, tidak kena sekarang, kakak rajawali!"
Koai Atong tertawa-tawa mengejek sambil cepat-cepat mengelak dari serangan sayap kiri yang berbahaya ini. Akan tetapi suara tertawanya segera disusul seruan terkejut ketika mendadak burung itu menyambar ke depan dengan kedua kaki digerak-gerakkan seperti orang melakukan tendangan! Kedua kaki itu menendang secara bergantian, saling susul menyusul sehingga sukar diduga kaki mana yang sesungguhnya akan menyerang.
Koai Atong tak dapat menghadapi serangan yang luar biasa ini dan sekali lagi tubuhnya mencelat dan terguling-guling, malah lebih jauh dari pada tadi!
Dengan pipi agak membengkak dan mata terbelalak heran Koai Atong merayap bangun. Dalam pandangan matanya, burung itu seperti tersenyum mengejek dan mata burung itu seperti berseri-seri menertawakannya. Timbul marah dalam hatinya.
"Kau curang! Kau licik! Aku masih belum kalah."
Dia melompat maju sambil memutar-mutar lengan kirinya, kemudian dia memukul ke arah sebatang pohon. Pohon itu segera roboh dalam keadaan layu!
Rajawali emas agaknya kaget melihat ini. Dia mengeluarkan suara aneh, lalu terbang ke atas tetapi bukan untuk melarikan diri, melainkan dari atas ia lalu menukik ke bawah dan menyerang Koai Atong dengan dahsyatnya!
Tadi berhadapan di atas tanah saja sudah dua kali Koai Atong roboh dalam segebrakan saja, apalagi sekarang burung itu menyerangnya dari atas. Betapa pun juga, Koai Atong seorang ahli silat yang sudah banyak menghadapi lawan-lawan lihai, tidak menjadi gugup atau takut.
Tadi dia memukul roboh pohon untuk memamerkan kepandaian dirinya. Sekarang melihat bahwa burung itu tetap tidak takut kepadanya, dia segera memutar lengan kirinya dan mendorong ke arah burung yang menyerangnya dari atas.
"Plakkk!"
Lengan tangannya bertemu dengan kaki burung yang bergerak seperti menangkisnya. Koai Atong terlempar oleh dorongan tenaga yang mukjijat, sebaliknya burung itu pun mencelat dan hinggap di atas tanah. Sekali lagi Koai Atong tertegun.
Meski seorang ahli silat yang lihai sekali pun belum tentu akan dapat menangkis pukulan Jing-tok-ciang dari tangan kirinya tapi agaknya burung itu sama sekali tidak terluka. Koai Atong makin penasaran. Masa ia kalah oleh seekor burung? Memalukan sekali!
Sambil berseru marah ia kembali menerjang maju, dan sekali ini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Ilmu Pukulan Jing-tok-ciang. Akan tetapi ia kecele, burung itu cerdik bukan main dan mengenal kelihaian pukulan lawan. Kali ini rajawali tidak mau menangkis, dan kedua kakinya dibantu pergerakan sepasang sayapnya bergerak ke sana ke mari mengelak.
Bukan main gerakan kaki ini. Selain gesit dan ringan, juga teratur dalam langkah-langkah tertentu yang ajaib sehingga pukulan-pukulan Jing-tok-ciang itu satu kali pun tidak pernah mengenai tubuhnya. Sebaliknya, tiap kali burung itu menghantam dengan sayapnya, tentu Koai Atong roboh terguling-guling. Kadang-kadang, bagaikan seorang pemain bola yang ulung, kaki burung itu menendang dan membuat tubuh Koai Atong menggelinding seperti bola pula.
Koai Atong marah luar biasa. Begitu marahnya sampai dia menangis berkaok-kaok sambil memaki-maki, persis tingkah laku seorang anak kecil nakal kalau kalah berkelahi. Sambil menangis dan memaki ia mengeluarkan senjatanya yang paling lihai, yaitu sebatang anak panah berwarna hijau. Inilah anak panah yang mengandung racun hijau yang bukan main lihainya. Lawan yang terkena tusukan anak panah ini tubuhnya akan diracuni oleh racun hijau dan jangan harap bisa hidup lagi. Dengan anak panah ditangan kanan Koai Atong maju lagi.
Burung itu agaknya jeri melihat anak panah ini. Dia kini selalu mengelak dan sudah lewat puluhan jurus belum juga Koai Atong dapat mengenai tubuh lawannya, sebaliknya sudah lima kali ia terguling-guling oleh sambaran sayap burung. Diam-diam dia mengeluh karena andai kata tubuhnya tidak kebal dan andai kata sambaran sayap itu rnerupakan pukulan manusia yang mengandung lweekang, tentu dia sudah mampus!
“Alangkah malu kalau tak dapat membalas,” pikirnya.
Pikiran ini membuat ia nekat. Betapa pun juga, pikiran seorang manusia biar pun berjiwa kanak-kanak agaknya masih lebih berakal dari pada pikiran seekor burung. Ketika burung itu untuk kesekian kalinya menampar, Koai Atong sengaja menerima tamparan ini dan berbareng menggunakan anak panahnya memapaki sayap burung.
Hebat pukulan itu, membuat Koai Atong terlempar dan terbanting sampai matanya terasa berkunang-kunang. Akan tetapi burung itu sendiri mengeluarkan suara kesakitan. Anak panah hijau itu telah menancap di sayap kirinya. Ia kebingungan, sayap kirinya menjadi lumpuh dan dengan paruhnya ia menggigit gagang anak panah, lalu dicabutnya.
Dengan kemarahan berkobar-kobar burung itu menggunakan paruh dan kaki kanannya mencengkeram dan... anak panah itu patah dan dilemparnya ke tanah. Sekarang burung itu marah sekali, mengeluarkan bunyi melengking tinggi.
Ia menggerak-gerakkan sayap hendak terbang, akan tetapi sayapnya yang kiri tidak dapat digerakkan. Burung itu mematuk-matuk ke arah sayap kirinya. Ternyata bahwa ujung anak panah hijau masih tertinggal disayapnya itu. Ketika dia tadi mencabut anak panah, saking kuat gerakannya, anak panah itu patah pada ujungnya.
Koai Atong juga marah karena pukulan terakhir itu membuat tubuhnya terasa sakit-sakit semua. Dia lalu meniru suara burung itu, memekik-mekik juga, malah lebih keras sambil memutar-mutar lengan kirinya, siap mengirim pukulan Jing-tok-ciang lagi karena sekarang senjatanya telah rusak.
Sekali lagi Koai Atong memukul dengan Jing-tok-ciang dan biar pun sudah terluka, sekali lagi pula burung itu dapat mengelak menggunakan gerak kaki yang aneh sekali. Sebelum sempat memperbaiki kedudukannya, Koai Atong sudah terdorong lagi oleh pukulan sayap kanan sampai terguling-guling.
Koai Atong bangun lagi sambil menggoyang-goyang kepala keras-keras karena matanya makin berkunang. Sekarang timbul akalnya. Setelah pusingnya hilang dia lalu menyerang membabi-buta, mengeluarkan semua kepandaian yang pernah ia pelajari, akan tetapi kini semua serangannya ia tujukan dari arah kiri burung itu.
Memang bagaimana pun juga, akal Koai Atong lebih menang dari pada akal binatang itu sehingga kali ini burung rajawali itu menjadi sibuk sekali mengelak tanpa bisa menyerang kembali karena sayap kirinya sudah terluka dan tak dapat digerakkan lagi. Agaknya hal ini membuat ia menjadi gentar. Sambil memekik-mekik burung itu lalu lari meninggalkan Koai Atong.
"Kau hendak lari ke mana? Sebelum berlutut minta ampun mana aku mau melepaskan kau?" Koai Atong memaki-maki dan mengejar.
Akan tetapi larinya burung itu bukan main cepatnya! Seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah, padahal sayapnya yang kiri sudah tidak dapat digunakan untuk terbang lagi. Apalagi kali ini agaknya pembawaan binatang itu mengatasi akal manusia, karena kini larinya menyusup-nyusup melalui semak belukar sehingga payahlah bagi Koai Atong untuk dapat mengikuti terus.
Akhirnya ia tertinggal jauh dan sesampainya di tengah hutan yang lebat ia bingung karena tidak tahu harus mengejar ke mana. Burung rajawali emas itu lenyap seperti ditelan bumi. Namun, orang seperti Koai Atong mana mau sudah begitu saja? Ia seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan bagus, maka sambil memaki-maki dan marah-marah ia pun mencari terus…..
********************
Seorang wanita muda berjalan seorang diri di dalam hutan itu. Wanita ini masih muda sekali, baru berusia sekitar dua puluh satu tahun. Sungguh pun badannya tidak terpelihara baik-baik, dapat dilihat dari pakaiannya yang tidak teratur serta rambutnya yang kusut, namun tak dapat disangkal oleh siapa pun juga bahwa dia adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita.
Sayang bahwa pada waktu itu, tidak saja pakaian dan badannya tidak terawat baik-baik, juga pada wajah yang cantik manis itu nampak kedukaan dan kesengsaraan hati yang amat hebat. Wajah itu sungguh suram dan pada pipinya nampak bekas-bekas air mata.
Sambil menundukkan mukanya, wanita itu berjalan di dalam hutan. Kakinya melangkah tanpa tujuan seperti orang berjalan dalam tidur. Berulang-ulang ia menarik nafas panjang, kadang-kadang mengeluarkan air mata.
Tiba-tiba ia dibangunkan dari lamunannya oleh suara lirih yang datang dari semak-semak belukar. Suara yang mengandung keluh kesakitan, merintih-rintih.
Wanita itu tertarik hatinya dan menyelinap memasuki belakang semak-semak yang amat rapat dan liar. Ternyata di situ mendekam seekor burung yang merintih-rintih kesakitan. Wajah wanita itu nampak kaget melihat seekor burung yang begitu besarnya dan bulunya seperti emas berkilauan.
Ketika melihat sayap kiri burung itu tergantung lemas dan darah bercucuran dari luka nya yang masih tertancap ujung anak panah, wanita itu berkata, suaranya penuh perasaan kasihan. "Ahhh, sayapmu terluka? Kasihan sekali, mari kucabut ujung anak panah itu. Siapa orangnya yang begitu kurang ajar melukai burung begini indah?"
Dari suaranya saja mudah diketahui bahwa pada dasarnya wanita ini bersikap gagah dan pembela kaum lemah, sayang bahwa dia sedang disiksa oleh penderitaan batin agaknya.
Burung itu bukan lain adalah rajawali emas yang terluka oleh anak panah Koai Atong. Biar pun dia hanya seekor burung, namun ia termasuk binatang yang cerdik juga dan dapat mengenal kawan atau lawan. Agaknya ia berkesan baik terhadap wanita ini, buktinya ia lalu mengeluarkan suara merintih dan menjulurkan sayap kirinya bagai seorang anak kecil memperlihatkan tangannya yang sakit kepada ibunya.
Wanita itu meraba sayap itu, memeriksa sebentar.
"Ah, kasihan sekali kau, alangkah kejam orang yang melukaimu. Tentu sakit dan perih..." tiba-tiba ia meramkan mata dan menyarnbung, "namun, burung yang baik, betapa pun sakitnya sayapmu, tak akan sesakit hatiku..."
la membuka mata lagi lalu menggunakan jari-jari tangan yang runcing mungil mencabut ujung anak panah yang masih menancap dalam-dalam di sayap kiri burung itu. Dengan amat mudahnya anak panah tercabut dan darah hijau menghitam bercucuran keluar. Dari gerakan cara mencabut ini saja dapat diketahui bahwa wanita muda yang cantik jelita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga.
Melihat darah agak kehijauan itu wanita ini nampak kaget hingga berseru, "Celaka, anak panah ini beracun! Ahh, mungkin kau tak akan tertolong lagi..." suaranya terdengar sedih sekali. "Tapi biarlah kucoba mengobatinya dengan obat luka yang kubawa dari Hoa-san."
Wanita itu mengeluarkan bungkusan kecil, lalu mengobati luka di sayap burung itu dengan obat bubuk putih. Burung itu diam saja hanya merintih-rintih perlahan, kemudian dengan mesra lehernya dia gosok-gosokkan kepada leher dan kepala wanita itu.
Wanita itu pun membelai kepala burung itu sambil berkata terharu, "Ah, burung yang baik, kau seekor binatang saja tahu terima kasih..."
Tiba-tiba terdengar suara berisik daun-daun kering terinjak disusul bentakan parau, "Ah, kiranya kau bersembunyi di sini, rajawali iblis?" Dan muncullah Koai Atong yang mukanya masih bengkak-bengkak dan matang biru karena tadi beberapa kali dihajar oleh burung rajawali itu sampai terguling-guling.
Akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan wanita cantik itu, kemarahan Koai Atong seketika lenyap dan matanya terbelalak memandang wanita itu. Mulutnya yang masih membengkak tlba-tiba terbuka dan tertawa lebar, wajahnya berseri-seri gembira.
"Enci Hong...! Ha-ha-ha, benar, engkau adalah Enci Hong...!" dia bersorak gembira dan meloncat-loncat seperti anak kecil menari-nari mendekati wanita muda itu.
Wanita muda itu menarik napas panjang. "Hemm, Koai Atong, jadi kaukah yang melukai burung ini?"
"Ahhh, jadi dia ini burungmu, Enci Hong?"
Wanita itu meragu sebentar, lalu mengangguk, "Betul."
"Waduh, celaka! Kalau aku tahu dia burungmu, tentu aku tidak berani mengganggunya." Koai Atong lalu menghampiri burung itu dan menjura sangat dalam. "Kim-tiauw-ko (Kakak Burung Rajawali Emas), kau maafkan aku, ya? Aku tidak tahu bahwa kau adalah milik dan peliharaan Enci Hong."
Melihat Koai Atong mendekat, burung itu marah dan hendak mematuk, tetapi wanita itu mencegahnya sambil merangkul lehernya. "Dia ini orang sendiri, jangan diganggu." Dan aneh sekali, burung itu tidak jadi menyerang.
"Koai Atong, jadi burung ini adalah seekor kim-tiauw (rajawali emas)?"
"Lho, kok aneh sekali kau ini. Masa tidak mengenal burung peliharaan sendiri?"
"Baru sekarang aku mendengar bahwa dia adalah rajawali emas. Koai Atong, kau telah melukainya dengan racun hijau, sekarang kau harus memberi obat padanya."
"Baik... baik... ahh, Enci Hong. Jika dia burungmu, benar-benar aku harus dipukul!" Koai Atong cepat mengeluarkan obat bubuk dari dalam sakunya.
Sebagai seorang ahli Jing-tok (Racun Hijau), tentu saja dia juga tahu bagaimana harus mengobati luka karena Jing-tok itu. Beberapa kali ia menyedot luka di sayap itu dengan mulutnya, kemudian ia menaruhkan obat bubuknya yang berwarna kuning. Benar saja, dalam waktu tak berapa lama burung itu sudah dapat menggerak-gerakkan kembali sayap kirinya.
Siapakah wanita muda itu? Dia bernama Kwa Hong cucu murid Hoa-san-pai akan tetapi oleh karena dia secara langsung menerima gemblengan dari kakek gurunya, yaitu ketua Hoa-san-pai yang bernama Lian Bu Tojin, maka ilmu silatnya amat tinggi.
Beberapa bulan yang lalu Kwa Hong gadis gagah perkasa ini mengalami peristiwa yang amat menghancurkan hatinya. Dia tertawan musuh dan ditahan di benteng bala tentara Mongol. Beng San, pemuda sakti yang telah menjatuhkan hatinya, telah menolongnya dan kemudian mereka berdua terjebak oleh tipu daya musuh.
Musuh yang jahat telah menaruhkan obat mukjijat dalam makanan sehingga dia dan Tan Beng San dalam keadaan tidak sadar telah jatuh dalam kekuasaan obat mukjijat itu dan telah melakukan pelanggaran susila, telah melakukan hubungan seperti suami isteri.
Hal ini sesungguhnya tidak mendukakan hati Kwa Hong karena memang ia mencinta Tan Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika pada keesokan harinya setelah sadar dari pengaruh obat itu, Beng San menyatakan penyesalannya, minta mati dan malah mengaku Beng San tak mungkin dapat memperisterinya karena pemuda itu sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain!
Demikianlah, dengan hati hancur, perasaan malu dan amat kecewa, Kwa Hong lalu lari pergi dengan maksud menjauhkan diri dari segala keramaian dunia. Apa lagi yang dapat ia harapkan? Orang yang dicintanya, yang tidak hanya merebut hati dan jiwanya, malah sudah pula memiliki badannya, tidak mau menerimanya dan menyatakan cinta kepada gadis lain!
Ibu dia sudah tidak punya. Ada pun ayahnya... ahh, makin sedih kalau Kwa Hong teringat ayahnya. Ayahnya adalah seorang pendekar besar yang ternama, seorang jagoan dari Hoa-san-pai, murid tertua dari Lian Bu Tojin.
Hoa-san It-kiam (Pedang Tunggal dari Hoa-san) Kwa Tin Siong adalah seorang tokoh persilatan yang mempunyai nama besar dan harum. Akan tetapi, nasib manusia memang tak dapat dipastikan. Ayahnya yang sudah lama menjadi duda itu teriibat dalam persoalan asmara dengan adik seperguruannya sendiri, yaitu Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) Lim Sian Hwa. Karena marahnya Lian Bu Tojin hendak membunuh Lim Sian Hwa, namun serangan pedangnya ditangkis oleh Kwa Tin Siong, membuat lengan kirinya putus dan ayahnya itu kemudian membawa lari Sian Hwa yang pingsan, pergi entah ke mana!
Siapa lagi yang dapat diharapkan oleh Kwa Hong? Hatinya perih sekali, dan lebih-lebih lagi bingung serta perih rasa hatinya ketika dalam perantauannya ini dia mendapatkan kenyataan bahwa ia telah mengandung! Tuhan menjatuhkan hukuman pada makhluk-Nya yang sesat!
Hubungannya dengan Tan Beng San tidak saja menghancurkan hatinya, tapi juga akan mendatangkan aib dan malu. Dia telah mengandung di luar pernikahan yang sah. Ia akan mempunyai anak tanpa mempunyai suami!
Setelah mendapat kenyataan ini, beberapa kali Kwa Hong hendak membunuh diri saja, namun wataknya yang keras menimbulkan satu tekad padanya. Ia tak boleh mati karena ia harus melakukan pembalasan! Kepada siapa? Kepada siapa saja yang telah membuat ia menjadi begini, kepada siapa saja yang telah membuat penghidupannya hancur lebur.
Demikianlah, secara kebetulan ia pun tiba di hutan itu dan bertemu dengan Koai Atong. Ia memang mengenal baik Koai Atong ini, semenjak dia kecil dahulu Koai Atong selalu baik kepadanya.
Setelah berjumpa dengan Koai Atong ini, teringatlah dia akan kata-katanya di depan Tan Beng San. Kata-kata terakhir untuk menyatakan kehancuran hatinya. "Aku akan menikah dengan laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh yang pertama kali kujumpai."
"Ah, bukankah Koai Atong ini boleh dibilang laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh?” Dan melihat ketaatan Koai Atong kepadanya... ha! Siapa lagi di dunia ini yang boleh ia percaya?
"Koai Atong, apakah kau masih suka kepadaku?" mendadak Kwa Hong bertanya sambil memandang tajam kepada laki-laki tinggi besar yang bermuka bodoh itu.
Koai Atong tertawa senang, "Tentu saja, Enci Hong. Aku suka sekali padamu, kau adalah seorang teman yang amat baik."
"Apakah kau suka menurut semua kata-kataku? Jika kau tidak suka menuruti permintaan dan kata-kataku, lebih baik kau tinggalkan aku dan selama hidup jangan lagi kau bertemu dengan aku!"
"Tentu... tentu..." jawab Koai Atong gugup, agaknya laki-laki satu ini memang takut sekali kalau-kalau dia tidak boleh lagi bertemu dengan Kwa Hong, "Aku akan menuruti semua kata-katamu, Enci Hong. Biar disuruh mati pun aku mau!"
Seketika kedua mata Kwa Hong menjadi basah, hatinya tertusuk sekali. Perih dan terharu dia melihat Koai Atong yang demikian mencinta dirinya sehingga bersedia mati untuknya. “Kasihan Koai Atong. Nasibmu tidak berbeda seperti aku,” demikian dia berpikir. Mencinta mati-matian tanpa mendapat balasan.
"Lho, kok menangis, Enci Hong? Siapa yang mengganggumu? Bilanglah, Koai Atong akan menghancurkan kepalanya!" ia berdiri dan mengepal-ngepal tinjunya, nampaknya marah sekali seakan-akan sudah melihat pengganggu Kwa Hong berada di depannya.
"Kau duduklah, Koai Atong," Kwa Hong memegang tangannya dan menariknya duduk di atas tanah.
Sementara itu, burung rajawali emas yang sudah sembuh juga mendekam di belakang Kwa Hong. Dia membelai-belai punggung gadis itu dengan kepala dan lehernya.
Koai Atong nampak girang sekali disuruh duduk dekat Kwa Hong. Sinar matanya seperti mata seorang anak kecil yang minta dipuji.
"Atong, kau dengarlah baik-baik. Aku sekarang hidup seorang diri di dunia ini. Maukah kau bersamaku? Menjadi temanku selamanya dan tak pernah meninggalkan aku?"
"Aku suka... aku suka sekali!"
“Tapi kau tidak boleh pergi ke mana pun juga, harus selalu mengikuti aku dan mentaati permintaanku."
"Boleh... boleh Enci Hong."
"Kalau suhu-mu datang dan meminta kau meninggalkan aku, lalu bagaimana?" Kwa Hong memancing.
Koai Atong menjadi bengong. Orang yang paling ditakuti di dunia ini hanyalah gurunya seorang, yaitu Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun) Giam Kong, hwesio dari Tibet yang amat terkenal sebagai tokoh dari Tibet, ahli Jing-tok-ciang.
Mendengar pertanyaan Kwa Hong ini, ia pun menjadi bingung dan nampak gugup. "Waah, kalau Suhu datang... sulit...!"
Kwa Hong cemberut, "Kalau kau lebih suka kepada suhu-mu, sudahlah, sekarang juga kau boleh tinggalkan aku!"
"Tidak... tidak begitu, Enci Hong. Mana bisa aku lebih suka kepada Suhu yang gundul dan galak? Aku lebih suka kepadamu tentu."
Diam-diam geli juga hati Kwa Hong mendengar ucapan dan melihat sikap Koai Atong ini. "Nah, kalau kau memang suka padaku, kau tak boleh membantah, harus menurut segala kata-kataku. Biar pun suhu-mu datang, kau harus berani menghadapinya dan selamanya kau tidak boleh meninggalkan aku, mengerti?"
Koai Atong mengangguk-angguk seperti ayam makan beras, "Mengerti... mengerti..."
"Jika begitu baru baik dan aku suka menjadi temanmu. Sekarang soal yang kedua. Mulai sekarang, kepada siapa pun juga, kepada gurumu sekali pun, kau harus bilang bahwa aku ini adalah... adalah isterimu."
Sepasang mata Koai Atong terbuka lebar hingga bundar, hidungnya kembang kempis dan mulutnya cengar-cengir seperti orang merasa nyeri dan ketakutan.
"Kau... kau adalah temanku yang baik, yang kubela sampai mati... mana bisa is... isteri segala...?”
Kembali Kwa Hong cemberut marah. "Lagi-lagi kau mau membantah. Ahhh, Koai Atong, kalau belum apa-apa kau sudah membantah saja dan tidak mau menuruti kehendakku, sudahlah kau pergi, biar aku mati seorang diri di sini!"
"Jangan... jangan usir aku, Enci Hong. Baiklah, kau isteriku. Biar kepada setan sekali pun aku akan bilang bahwa kau adalah isteriku. Nah, sudah senangkah hatimu?"
Kwa Hong mengangguk, kemudian dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedih, dia berkata lagi, "Mulai sekarang aku adalah isterimu dan kau... suamiku. Kelak kalau aku melahirkan anak kau harus bilang bahwa anak itu adalah anakmu."
Wajah Koai Atong sampai menjadi pucat mendengar ini, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Kiranya dia akan terus begini bila saja tidak kebetulan sekali ada lalat terbang memasuki mulutnya, membuat ia mencak-mencak dan mau muntah.
"Kau mau menolak lagi? Mau membantah lagi?" Kwa Hong benar-benar jengkel kali ini.
Koai Atong ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri duduk lagi setelah dengan terpaksa menelan lalat yang nekat itu.
"Tidak, Enci Hong. Aku tidak membantah. Baiklah, anak itu anakku... eh, mana anak itu? Apa engkau mau melahirkan anak, Enci Hong?"
Sekarang Kwa Hong tersenyum, tersenyum sedih. Orang seperti Koai Atong ini bodohnya jauh lebih baik dan murni hatinya dari pada orang-orang yang tampan dan pandai. "Koai Atong, beberapa bulan lagi aku akan melahirkan anak dan ingat baik-baik, anak itu harus kau anggap anakmu sendiri. Aku isterimu dan anak itu anakmu, mengerti?"
"Baik... baik... aku mengerti."
"Andai kata gurumu sendiri datang dan marah, kau harus tetap mengakui aku isterimu dan anak itu anakmu, kau harus berani melawannya."
"Tapi..."
"Apa tapi lagi? Ahh, Koai Atong, janganlah kau bikin aku kehabisan sabar dengan terus membantah."
"Tidak membantah... tidak membantah, Enci Hong yang baik. Tapi Suhu lihai sekali... mana aku kuat melawannya? Kau dan aku akan tewas semua kalau melawannya."
"Takut apa? Kepandaianmu tinggi, dan sedikit-sedikit aku pun berkepandaian. Kita bisa melatih diri dan memperdalam ilmu. Apa bila kelak ada yang datang mengganggu, dengan kepandaian kita, masa kita harus takut?"
Akan tetapi Koai Atong ragu-ragu, menggeleng-geleng kepala. Biar pun dalam persoalan umum ia bodoh dan seperti anak kecil, namun dalam perkara ilmu silat ia jauh di atas Kwa Hong tingkatnya dan tahu bahwa melawan suhu-nya merupakan hal yang mustahil sekali. Tiba-tiba ia teringat dan seperti orang gila ia meloncat dan menari-nari, lalu ia merangkul burung rajawali emas yang mendekam di belakang Kwa Hong.
Burung itu kaget dan hendak menyerangnya, akan tetapi Kwa Hong segera membentak, "Kim-tiauw, jangan serang dia!" Kemudian ia membentak Koai Atong.
"Apa-apaan kau ini, kegirangan tidak karuan?"
"Ada jalan... ada jalan baik Enci Hong, Kim-tiauw-heng ini, kita bisa belajar ilmu silat dari dia. Wah, dia lihai sekali, kiranya suhu-ku sendiri takkan mampu melawannya!"
"Kau gila! Mana ada burung lebih lihai ilmu silatnya dari gurumu? Sedangkan melawanmu saja ia sampai terluka sayap kirinya."
Koai Atong tertawa geli, "Memang ia agak bodoh, tapi lihai bukan main. Kalau aku tidak sengaja mengakalinya, membiarkan diriku dihantam lalu membarengi menusuk sayapnya dengan anak panah, mana aku mampu melukai dia? Seratus kali aku menghantamnya, seratus kali luput pula. Namun setiap kali dia menyerangku, aku terguling-guling. Benar, gerakan-gerakannya adalah ilmu silat yang hebat, ilmu silat ajaib, ha-ha-ha!"
Kemudian ia menghampiri burung itu dan berkata, "Enci Hong, kau lihat sendiri, ya? Aku akan menyerangnya dengan Jing-tok-ciang, ilmu pukulanku yang paling hebat. Tapi kalau dia nanti marah, kau harus menyabarkannya."
Setelah berkata demikian dia memutar-mutar lengan kirinya dan siap menyerang burung itu. Burung itu pun cepat berdiri dan melirik ke arahnya dengan marah.
"Hati-hati Koai Atong. Pukulanmu itu hebat sekali, jangan sampai kau bikin dia mati!" seru Kwa Hong yang sudah mengenal Jing-tok-ciang ini. Dia suka sekali kepada burung yang bulunya seperti emas itu.
"Jangan kuatir, kau lihat saja."
Tiba-tiba Koai Atong memukul, dan terus memukul secara bertubi-tubi sampai lima kali. Akan tetapi benar saja, dengan gerakan yang aneh sekali tapi mudah dan ajaib, burung itu melangkah ke sana ke mari dan... semua serangan itu tak mengenai sasaran. Kemudian, entah bagaimana caranya tahu-tahu sayap kanannya bergerak dan... Koai Atong lantas terdorong sampai terguling-guling. Burung itu mengejar dan dengan marahnya hendak mencengkeram. Koai Atong berteriak-teriak minta tolong.
"Kim-tiauw, jangan serang dia!" bentak Kwa Hong sambil meloncat maju.
Aneh, burung itu benar-benar tunduk kepada Kwa Hong. Dia membatalkan niatnya dan kelihatan girang ketika Kwa Hong merangkul lehernya.
"Hebat... kim-tiauw yang gagah. Kau benar-benar hebat...!" kata Kwa Hong yang sekarang percaya akan kelihaian burung itu.
Koai Atong merayap bangun dan pada jidatnya bertambah sebuah benjolan sebesar telur. Ia menyumpah-nyumpah tapi segera tertawa melihat wajah Kwa Hong berseri gembira.
"Ha-ha, kau tidak menangis lagi, Enci Hong. Baik, bagus, aku senang melihat kau gembira sekarang. Jangan kuatir, kalau aku sudah mempelajari ilmu silat burung kim-tiauw ini, biar ada lima orang selihai Suhu, aku tidak takut!"
Kwa Hong masih tidak mengerti bagaimana harus mempelajari ilmu silat dari seekor burung, akan tetapi melihat kesungguhan Koai Atong, ia percaya, maka ia menjadi girang sekali. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mempelajari segala ilmu silat dari Koai Atong, kalau mungkin melalui Koai Atong mempelajari gerakan yang ajaib dari burung itu.
Kalau dia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi, hemmm, akan tercapai maksudnya menghukum mereka yang membuat hidupnya merana.....
********************