Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Diedarkannya pandangan matanya kesekelilingnya. Hutan, sawah dan ujung gunung yang berselimut awan tipis. Namun Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Paksi. Jangan risau. Bukankah kau pulang sambil membawa cincin yang dikehendaki oleh ayahmu”
“Jika karena itu, aku diterima baik oleh ayahku, maka bukan akulah yang diharapkan pulang. Tetapi cincin itu. Seandainya ada orang lain yang datang membawa cincin itu, maka ayah tidak akan pernah bertanya dimana aku berada. Apakah aku akan pulang atau tidak”
“Jangan berprasangka buruk seperti itu, Paksi”
Paksi seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Marta Brewok itu. Tetapi ia berkata selanjutnya, “Wicitra yang sudah jelas berniat untuk mengusir ayah dan ibunya, pada saat yang gawat masih ditangisi oleh ibunya, sementara ayahnya bersedia mengorbankan nyawanya. Tetapi bagaimana dengan ayahku?”
“Sudahlah. Pulanglah. Serahkan cincin itu kepada ayahmu”
“Setelah aku renungkan, agaknya tidak ada gunanya bagiku menyerahkan cincin itu kepada ayah. Demikian cincin itu diambil kembali oleh Pangeran Benawa, maka aku tentu akan diusirnya lagi dari rumah. Bahkan mungkin ayahku memerintahkan kepadaku untuk mencuri cincin itu dari tangan Pangeran Benawa”
“Jika cincin itu kemudian diambil Pangeran Benawa, bukankah itu bukan salahmu?”
“Ayah tidak akan menghiraukan apakah aku bersalah atau tidak. Sebagaimana ayah memerintahkan aku mencari cincin itu, maka ayah tentu akan menimpakan beban itu dipundakku”
Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, disaat kau datang, maka kau akan diterima sebagai seorang pahlawan”
Paksi menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah artinya seorang pahlawan, jika itu hanya semu?”
“Sudahlah, Paksi” berkata Ki Marta Brewok, “kau jangan terlalu berprasangka. Kau wajib mencobanya”
Paksi tidak menjawab.
Demikianlah, maka mereka pun berjalan terus. Wijang masih berjalan beberapa langkah dibelakangnya. Ia serba sedikit mendengar pembicaraan antara Ki Marta Brewok dan Paksi. Sebenarnyalah Wijang juga merasa heran terhadap sikap ayah Paksi. Pada saat Paksi menginjak umur tujuh belas, ia harus meninggalkan rumahnya memasuki satu dunia yang sama sekali asing baginya, dunia yang keras dengan tugas yang sangat berbahaya, tanpa bekal sama sekali.
“Ayah Paksi adalah seorang Tumenggung” desis Pangeran Benawa, “agaknya ia seorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Tetapi masih juga tumbuh di kepalanya untuk memperlakukan anaknya semena-mena”
Tetapi desis itu hanya didengarnya sendiri. Bahkan kemudian ia pun bergumam pula perlahan sekali, “Pamrih dan ketamakan seseorang ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Jika yang terjadi pada Paksi, anak yang diperlakukan semena-mena, sebaliknya yang terjadi pada Wicitra. Anaknyalah yang memperlakukan orang tuanya semena-mena”
Namun Wijang itu pun kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana dengan ayahku?”
Wijang menarik nafas panjang. Katanya kepada diri sendiri, “Tetapi ayahku adalah seorang raja”
Namun tiba-tiba timbul pertanyaan didalam hatinya, “Apakah ada bedanya kewajiban seorang ayah terhadap anaknya dari seorang raja dan bukan seorang raja?”
Wijang termangu-mangu. Tetapi kakinya melangkah terus. Namun telinganya seakan-akan mendengar jawaban, “Tentu berbeda anak muda. Bukan saja terhadap anaknya. Tetapi juga terhadap istri-istrinya. Dengan bertumpu pada wewenang dengan kekuasaan, seorang raja dapat berbuat lain dari orang kebanyakan”
Hampir diluar sadarnya, Wijang itu bergumam, “Tetapi hakekat seorang ayah dan kepala keluarga?”
Wijang terkejut sendiri. Tetapi untunglah bahwa agaknya Paksi dan Ki Marta Brewok tidak menghiraukannya.
Demikianlah bertiga, mereka berjalan terus. Paksi masih berjalan disamping Ki Marta Brewok. Wijang masih berjalan di belakang.
Perjalanan ke Pajang memang sebuah perjalanan yang panjang. Karena itu, maka mereka harus bermalam di perjalanan.
Tetapi ketiga orang itu sudah bersepakat untuk menghindari persoalan-persoalan yang timbul diperjalanan sehingga menghambat dan bahkan memperpanjang waktu perjalanan mereka. Mereka ingin segera sampai di Pajang. Meskipun Paksi menjadi sangat berdebar-debar, tetapi ia pun ingin segera tahu, apa yang akan terjadi dirumahnya nanti.
Tetapi kesediaan Wijang menyerahkan cincinnya justru membuatnya semakin gelisah. Paksi pernah melihat Wijang menyerahkan cincin itu kepada seseorang yang ingin merampasnya. Tetapi orang itu harus menyerahkan kembali cincin itu. Bahkan bersama nyawanya.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengerti, kenapa hal itu dilakukan oleh Wijang, karena menurut pendapatnya, Wijang bukan seorang pembunuh.
“Jika orang itu dibiarkan hidup, maka Pangeran Benawa tidak akan mempunyai tempat untuk bergerak sama sekali” berkata Paksi didalam hatinya.
Ketika kemudian malam datang, mereka tidak bermalam di sebuah banjar padukuhan agar mereka tidak tersentuh persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka.
Sebenarnyalah dengan menginap di tempat terbuka, maka mereka memang tidak disentuh oleh persoalan-persoalan apapun.
Dihari berikutnya, ketiga orang itu pun meneruskan perjalanan mereka dengan sangat berhati-hati. Ketika mereka merasa haus dan lapar, maka mereka pun singgah di kedai-kedai kecil yang tidak banyak disinggahi orang. Namun dalam pada itu, semakin dekat mereka dengan Pajang, jantung Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Seperti yang dikatakannya, rasa-rasanya ia sedang tidak mendekati rumahnya yang dihuni oleh ayah, ibu dan saudara-saudaranya.
Namun Ki Marta Brewok selalu membesarkan hatinya. Dengan nada dalam ia berkata “Keluargamu sedang menunggumu, Paksi”
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijang pun berkata “Kau akan pulang sambil membawa cincin yang dicari oleh ayahmu itu, Paksi. Karena itu, jangan cemas, bahwa kedatanganmu akan mendapat sambutan buruk dari ayahmu”
Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat menyingkirkan debar dijantungnya. Bahkan semakin dekat dengan pintu gerbang kota, debar itu menjadi semakin keras. Namun Paksi pun kemudian menetapkan niatnya. Ia harus pulang. Ibunya sudah menunggu terlalu lama. Lebih dari setahun ia mengembara.
Tetapi seperti yang sudah direncanakan, Paksi akan mengetuk pintu rumahnya setelah malam menjadi larut. Jika ia menyerahkan cincin itu, ayahnya tidak mempunyai kesempatan untuk memindahkan cincin itu ketangan orang lain. Setidak-tidaknya untuk malam itu.
Namun sebelum Paksi sampai di rumahnya, maka ia harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk sampai ke istana dan mempersiapkan dirinya sebagai Pangeran Benawa yang kemudian akan datang kerumah Paksi untuk mengambil cincin itu.
“Jika ayah berkeberatan, maka nyawa ayah akan dipungutnya pula” berkata Paksi didalam hatinya.
Tetapi Paksi masih berpengharapan bahwa Wijang tidak memperlakukan ayahnya dengan cara yang garang itu. Justru karena Wijang mengenalnya dengan baik. Karena itu, maka Paksi pun tidak berpaling lagi. Ia harus segera pulang.
Ketika malam turun, maka mereka pun telah memasuki gerbang kota. Wijang lah yang kemudian mendahului Paksi, langsung menuju ke istana setelah menyerahkan cincinnya kepada Paksi.
Bersama Ki Marta Brewok, Paksi pun kemudian duduk di pinggir alun-alun yang sepi. Mereka membayangkan, Wijang itu memasuki regol butulan dan mengejutkan para abdi di istana.
“Jangan cemaskan Pangeran itu” berkata Ki Marta Brewok.
“Apakah Pangeran Benawa itu tidak akan dipanggil oleh ayahandanya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya?”
“Tentu tidak malam ini. Sultan Hadiwijaya kini menjadi sangat lamban. Segala-galanya kini menjadi lambat dan bahkan kadang-kadang beberapa masalah dilupakan begitu saja.
“Tetapi apakah Kangjeng Sultan itu tidak akan langsung menanggapi kedatangan Pangeran Benawa yang sudah sekian lama pergi meninggalkan istana? Apalagi jika sudah diketahui bahwa Pangeran Benawa itu membawa cincin kerajaan?”
“Kangjeng Sultan tidak akan beringsut dari pembaringannya”
Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Untuk beberapa lama keduanya duduk di pinggir alun-alun. Sementara itu, malampun menjadi bertambah malam. Derik cengkerik terdengar menggores sepinya malam.
“Nah, sekarang pulanglah. Tengah malam kau mengetuk pintu rumahmu. Mudah-mudahan kau diterima dengan baik oleh keluargamu. Terutama oleh ayahmu”
Paksi mengangguk sambil berdesis, “Untuk seterusnya dimana aku dapat bertemu Ki Marta Brewok?”
Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya “Aku akan sering berada disini. Terutama di malam hari”
“Terima-kasih guru” sahut Paksi dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Tetapi kau jangan lupa pula kepada gurumu. Datanglah kepadanya. Laporkan apa yang pernah terjadi di sepanjang perjalananmu. Suka dan dukanya”
“Baik, guru” jawab Paksi dengan suara yang bergetar.
Paksi pun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Ki Marta Brewok.
“Aku mohon diri guru” desis Paksi.
Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi, “Baik-baiklah membawa dirimu”
Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, “Baik, guru” Demikianlah, Paksi pun melangkahkan kakinya menyusuri pinggir alun-alun itu. Kemudian berbelok dan keluar melintasi jalan kota yang sepi.
Sambil melangkah, Paksi mengamati jalan yang sudah dikenalnya dengan baik, namun yang sudah lebih dari satu tahun ditinggalkannya. Tetapi masih belum banyak yang berubah. Bangunan di sebelah-menyebelah jalan masih yang dahulu itu juga.
Jantung Paksi terasa berdenyut semakin keras ketika ia menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumahnya. Halaman rumah yang cukup luas. Rumahnya pun termasuk rumah yang baik sebagaimana rumah seorang Tumenggung.
Ketika tangan Paksi menguak pintu regol rumahnya, hatinya pun menjadi semakin bergetar. Namun Paksi pun kemudian melangkah dengan mantap menuju ketangga pendapa.
Malam telah menjadi semakin larut. Dikejauhan terdengar suara kentongan dengan irama titir.
“Tengah malam” desis Paksi, “Pangeran Benawa tentu telah berbuat sesuatu. Menjelang pagi, Pangeran Benawa akan datang kerumah ini untuk mengambil cincin itu”
Beberapa saat kemudian Paksi berdiri termangu-mangu di depan pintu pringgitan. Namun kemudian tangannya diangkatnya.
Paksi mengetuk pintu rumahnya perlahan-lahan. Agaknya seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula ayah, ibu dan adik-adiknya. Paksi pun telah mengetuk pintu rumahnya lagi. Agak lebih keras dari semula.
Ternyata ketukan itu telah membangunkan ayah dan ibunya. Keduanya memang menjadi bimbang. Ketukan pintu di tengah malam itu menimbulkan berbagai prasangka pada keduanya.
“Siapa?” terdengar suara ayah Paksi.
“Aku ayah, Paksi”
“Paksi?” nama itu sangat mengejutkannya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.
Ibunyalah yang berlari ke pintu sambil menyebut nama itu, “Paksi. Kau benar Paksi?”
Tetapi Ki Tumenggung dengan cepat menangkap lengannya sambil berkata, “Tunggu. Apakah benar yang datang itu Paksi”
“Aku tidak dapat melupakan suaranya”
“Sudah lama ia meninggalkan rumah ini. Segala-galanya tentu sudah berubah”
“Tetapi suara itu tidak berubah sama sekali”
“Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa. Mungkin suaranya tidak berubah. Mungkin yang datang itu memang Paksi. Tetapi apakah Paksi masih sama seperti Paksi yang dahulu atau tidak”
“Paksi tidak akan pernah berubah. Ia adalah anakku”
“Baiklah. Sambutlah anakmu itu” desis Ki Tumenggung. Ibu Paksi itulah yang kemudian mengangkat selarak pintu.
Yang berdiri dimuka pintu memang Paksi. Demikian pintu terbuka, maka Paksi pun segera berjongkok di depan ibunya. Diraihnya tangan ibunya dan kemudian diciumnya.
“Paksi. Paksi” desis ibunya. Ditariknya bahu Paksi agar anak muda itu berdiri. Kemudian, dipeluknya anak laki-lakinya yang sudah hampir satu setengah tahun mengembara.
Paksi memeluk ibunya pula. Air mata yang mengalir dan membasahi bahu Paksi, terasa hangat. Mata Paksi terasa menjadi hangat pula.
Ketika ibunya melepaskan pelukannya, maka Paksi pun berjongkok di hadapan ayahnya pula sambil berkata “Ayah, aku pulang”
Ayahnya memandang wajah Paksi. Tetapi Paksi menunduk sehingga ayahnya tidak dapat melihat wajahnya itu.
“Kau datang darimana, Paksi?” bertanya ayahnya.
Paksi menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Bahkan ibunya pun menjadi heran pula, sehingga ibunya pun itu menyahut “Bukankah Paksi pergi menjalankan perintah kakang Tumenggung”
“O, benar begitu, Paksi?”
Paksi tidak menjawab. Tetapi pengalamannya dalam pengembaraan, membuatnya menjadi bertambah lantip. Ia tahu kemana arah pertanyaan ayahnya itu. Karena itu, maka Paksi justru menunggu, apa yang akan ditanyakan ayahnya lebih lanjut.
“Paksi” berkata ayahnya kemudian, “kau belum menjawab pertanyaanku”
“Maksud ayah?” Paksi justru bertanya.
“Apakah selama ini kau telah pergi menjalankan perintahku?”
“Ya, ayah” jawab Paksi. Tetapi Paksi pun tahu, bahwa ayahnya akan segera bertanya apakah ia berhasil atau tidak. Bahkan ayahnya tentu akan mengingatkannya, bahwa ayahnya itu telah berpesan, agar ia tidak kembali sebelum ia berhasil menemukan cincin bermata tiga itu.
Paksi harus menahan senyumnya ketika ia mendengar ayahnya itu bertanya “Kau ingat, bagaimana bunyi perintahku?”
“Ingat ayah” jawab Paksi, “meskipun perintah itu ayah ucapkan setahun yang lalu”
“Sebut bunyi perintahku itu” berkata ayahnya kemudian.
“Biarlah ia duduk dahulu. Biarlah ia minum atau makan atau beristirahat dahulu. Ia baru datang setelah setahun meninggalkan rumah”
“Jangankan setahun” jawab ayahnya, “seorang laki-laki akan melakukan tugasnya sampai tuntas. Sebelum selesai, maka seorang laki-laki pantang berhenti meskipun harus dilakukan seumur hidupnya”
“Tetapi Paksi itu sekarang ada disini. Ia tidak akan lari. Kakang akan dapat bertanya kapan saja kepadanya”
“Aku ingin mendengar jawabnya, apakah ia dapat menyelesaikan tugasnya sampai tuntas atau tidak sebelum ia masuk kedalam. Jika tugasnya belum tuntas, tidak pantas jika ia masuk kedalam rumah kita”
“Biarlah ia masuk”
“Tidak” Ki Tumenggung itu membentak.
Tetapi adalah diluar dugaan bahwa Nyi Tumenggung itu pun membentak pula “Tidak. Aku akan membawa Paksi masuk kedalam rumahnya sendiri”
Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Diluar sadarnya, ia bertanya, “Kau berani membantah kata-kataku, Nyi?”
“Aku sudah tua. Aku sudah cukup lama menunjukkan kesetianku kepadamu, kakang. Jika sekarang aku bersikap lain, karena aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Baik bagi badanku, mau pun bagi namaku. Apa pun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Jika kau ingin menghinakan aku, lakukanlah”
Jantung Paksi menjadi bedebar-debar. Tetapi ia tidak sempat memikirkannya. Ibunya telah menariknya dan membawanya masuk keruang dalam.
Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak mencegah ketika kemudian Nyi Tumenggung membimbing Paksi masuk keruang dalam.
Sejenak kemudian Paksi pun telah duduk di ruang dalam. Dengan lembut ibunya berkata, “Duduklah Paksi. Aku akan membuat minuman bagimu”
Paksi tidak menjawab. Tetapi dipandangnya ayahnya yang berdiri dengan wajah yang tegang.
“Kau tidak akan pergi lagi, Paksi. Kau akan tetap berada di rumahmu”
Paksi masih tidak menjawab. Sementara itu ibunya pun beranjak dari tempatnya untuk pergi kedapur. Namun ia sempat berkata, “Biarkan ia beristirahat dahulu, kakang. Jangan kau usik anak itu dengan segala macam pertanyaan yang dapat mengganggu ketenangannya”
Paksi mendengarkan perselisihan itu dengan jantung yang berdebaran. Setelah melakukan pengembaraan lebih dari setahun panggraitanya menjadi semakin tajam. Karena itu, pembicaraan ayah dan ibunya yang keras itu telah menimbulkan berbagai tanggapan didalam hatinya.
Namun ayahnya benar-benar tidak mengganggunya. Bahkan kemudian ayahnya itu masuk kedalam biliknya tanpa menutup pintu rumahnya. Karena itu, maka Paksi pun kemudian bangkit berdiri untuk menutup pintu yang terbuka itu.
Didapur, ibunya telah membangunkan seorang pembantunya untuk menyiapkan minum dan makan bagi Paksi.
“Hangatkan sayurnya” berkata ibu Paksi itu, “anak itu tentu kedinginan dalam perjalanannya yang panjang”
Dalam pada itu, ibu Paksi itu pun segera masuk keruang dalam. Dilihatnya Paksi yang sedang menutup dan menyelarak pintu rumahnya.
“Duduk sajalah Paksi” berkata ibunya, “kau tentu letih. Sebaiknya kau beristirahat. Mungkin kau ingin mandi atau berbenah diri”
Paksi merasakan kesejukan kasih seorang ibu. Ia membayangkan betapa seorang ibu telah siap berkorban, meskipun anaknya sudah mengusirnya. Agaknya ibunya juga akan bersedia berkorban sebagaimana ibu Wicitra. Tetapi Paksi harus merenungi sikap ayahnya. Pembicaraan ayah dan ibunya yang pendek itu cukup keras. Tetapi Paksi pun harus menepati waktu sebagaimana dibicarakannya dengan Pangeran Benawa. Karena itu, sebelum Pangeran Benawa datang, cincin itu harus sudah berada di tangan ayahnya.
“Kemana saja kau selama ini, Paksi. Aku sangat rindu kepadamu”
Paksi mencoba untuk tersenyum. Ia tidak ingin membuat perasaan ibunya semakin pedih. Karena itu, maka wajah Paksi itu justru nampak gembira. Katanya, “Satu pengalaman yang menarik, ibu. Aku telah melihat daerah yang luas sekali”
“Apakah kau tidak mengalami peristiwa-peristiwa buruk di perjalanan?”
“Tidak, Ibu. Jika sekali-sekali kakiku terantuk batu, bukankah itu wajar sekali?”
Ibunya menarik nafas panjang. Ia mengerti bahwa Paksi ingin menenteramkan hatinya. Namun ibunya itu terkejut ketika Paksi itu pun bertanya, “Dimana ayah?”
Ibunya mengerutkan dahinya. Ia tahu bahwa suaminya berada didalam biliknya. Bahkan Ki Tumenggung itu tentu mendengar pertanyaan Paksi itu.
“Bukankah ayahmu berada didalam biliknya?”
“Aku ingin berbicara dengan ayah”
“Bukankah dapat kau lakukan besok pagi? Beristirahatlah. Makanlah atau jika sebelumnya kau akan mandi dahulu. Kemudian berganti pakaian. Pakaianmu nampak lusuh dan kotor. Berapa bulan kau tidak berganti pakaian?”
Paksi tertawa. Katanya, “Aku selalu mencucinya, ibu. Aku sengaja tidak menyediakan ganti pakaian. Setiap kali aku mencuci disungai, maka aku pun ikut berjemur sampai pakaian itu kering”
“Kau bawa pula tongkat kayu, sehingga ujudmu benar-benar seperti seorang pengembara”
Paksi tertawa. Katanya, “Tongkat ini tongkat wasiat, ibu. Seseorang memberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan, itulah sebabnya, aku membawanya kemana-mana”
“Bagaimana jika pakaianmu yang selembar itu koyak?”
“Aku dapat membeli di pasar. Bukankah aku mempunyai uang?”
“Jadi uang bekalmu itu masih ada? atau kau sudah menjual perhiasan yang ibu berikan kepadamu?”
“Uang itu masih ada ibu. Aku tidak banyak membelanjakannya selama dalam pengembaraan”
“Bagaimana kau makan sehari-hari?”
Wajah Paksi nampak cerah. Ia teringat kepada kebunnya di lereng gunung Merapi. Sambil tertawa Paksi berkata, “Aku sempat berkebun di tanah yang subur, ibu”
“Tanah siapa?”
“Tanah tanpa pemilik. Aku membuka tanah di pinggir sebuah hutan” ketika Paksi melihat kerut didahi ibunya, ia segera berkata, “menyenangkan sekali. Satu pengalaman yang sulit aku dapatkan tanpa pengembaraan ini”
Ibunya mengangguk-angguk. Namun karena ia melihat wajah Paksi yang cerah, maka hatinya pun menjadi terang pula. Bayangan-bayangan tentang kehidupan Paksi yang penuh dengan penderitaan menjadi semakin kabur. Bahkan ibu Paksi itu pun kemudian dapat tersenyum pula sebagaimana Paksi. Apalagi Paksi menganggap pengalaman hidupnya itu sangat berarti baginya, serta beberapa ceritera jenaka yang terjadi di perjalanannya.
Namun kemudian Paksi itu pun bertanya lagi, “Dimana ayah, ibu”
“Kau akan berbicara dengan ayahmu?”
“Ya”
“Penting sekali?”
“Ya, ibu. Aku ingin menyampaikan hasil pengembaraanku”
Ibunya termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jadi kau berhasil?”
Sebelum Paksi menjawab, ayahnya sudah keluar dari dalam biliknya. Ia memang mendengar pembicaraan Paksi dan ibunya. Dengan tergesa-gesa ia pun bertanya “Jadi kau berhasil, Paksi?”
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ayahnya melangkah mendekatinya. Paksi pun telah bersiap-siap untuk mengamati wajah ayahnya disaat ia mendengar bahwa perjalanannya berhasil.
“Ayah. Aku telah melakukan perintah ayah sejauh dapat aku lakukan. Ternyata Yang Maha Penyayang telah menuntun perjalananku sehingga aku berhasil”
“Cincin itu?”
“Ya, ayah”
“Kau dapatkan cincin itu?”
“Ya”
“Lihat, apakah cincin itu benar-benar cincin yang dimaksud. Cincin bermata tiga butir batu akik yang berbeda warnanya dan jenisnya”
Paksi pun kemudian telah mengambil cincin yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya.
“Apakah benar cincin ini yang ayah maksudkan?”
Mata Ki Tumenggung itu terbelalak. Ia melihat tiga butir mata cincin itu bagaikan bercahaya. Dengan tergesa-gesa diambilnya cincin itu dari tangan Paksi. Diamatinya cincin iu dengan seksama. Tiba-tiba Ki Tumenggung itu tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras.
“Kakang Kakang Tumenggung” panggil Nyi Tumenggung. Bahkan kemudian sambil mengguncang-guncang lengan suaminya, “kenapa kakang tiba-tiba kehilangan kendali seperti ini?”
Suara tertawa itu memang mereda. Ki Tumenggung itu pun duduk sambil berkata, “Ternyata kau adalah anak yang sangat baik, Paksi. Kau dapat melakukan tugas yang dibebankan di pundakmu sehingga berhasil. Memang cincin inilah yang dicari selama ini”
Paksi tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa kegembiraan itu tidak akan berumur panjang. Sebelum matahari terbit, Pangeran Benawa akan datang untuk mengambil cincin itu.
“Dimana kau dapat cincin ini?” bertanya ayahnya kemudian.
“Dikaki Gunung Merapi di sisi Selatan, ayah” Ayahnya mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun bertanya “Bagaimana kau mendapatkan cincin itu?”
Paksi sudah menduga bahwa ayahnya akan bertanya seperti itu kepadanya. Karena itu dengan lancar ia pun menjawab, “Dalam samadi aku seakan-akan melihat bintang kecil yang jatuh dibalik segerumbul pepohonan. Ketika aku memburunya, maka ternyata aku menemukan sebuah telaga kecil dibalik gerumbul itu, ayah. Ketika aku mendekat, maka aku melihat cahaya tiga warna didalam air. Entah apakah yang meyakinkan aku waktu itu, tetapi aku pun segera terjun kedalam air menuju ke sumber cahaya itu. Ternyata aku mendapatkan cincin ini”
“Paksi” berkata ayahnya, “aku tahu, bahwa banyak orang yang mencari cincin ini. Apakah kau tidak bertemu atau bahkan berebutan dengan mereka?”
“Hanya akulah yang berada di telaga kecil pada waktu itu, ayah. Tidak ada orang lain. Baru kemudian, aku mengetahui bahwa di lereng sebelah Selatan Gunung Merapi banyak orang yang memburu cincin itu”
“Dari mana kau tahu, bahwa mereka sedang memburu cincin itu sedangkan cincin itu sudah berada di tanganmu”
“Dimana-mana terjadi keributan. Yang satu menuduh yang lain menyembunyikan. Bahkan ada seorang yang mencari seorang yang bernama Pangeran Benawa yang menurut kata mereka, telah melarikan cincin itu dari istana”
“Jadi perebutan itu terjadi di tempat-tempat terbuka?”
“Bahkan di pasar, di kedai, dimana saja” jawab Paksi, “di pasar aku juga pernah melihat dua orang saling menuduh. Bukan menyembunyikan cincin, tetapi menyembunyikan Pangeran Benawa”
Ayah Paksi itu tertawa berkepanjangan. Katanya “Apa yang kau lakukan? Kau tentu mentertawakan mereka karena kaulah yang telah membawa cincin itu”
“Ya, ayah. Tetapi aku justru harus berhati-hati. Aku takut bahwa cahaya mata cincin itu akan menembus kantong ikat pinggangku. Karena itu, aku selalu menyingkir jika terjadi perselisihan diantara mereka”
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya “Bukankah kau tidak berbohong, Paksi?”
Paksi mengerutkan dahinya. Katanya, “Maksud ayah?”
“Tidak. Aku percaya kepadamu. Terima-kasih, Paksi” Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibawanya cincin itu kedalam biliknya.
Ibu Paksi itu pun menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya kepala anaknya sambil berkata, “Yang Maha Penyayang memberi jalan kepadamu untuk menyelesaikan tugasmu dengan baik”
Paksi mengangguk kecil. Katanya, “Ya, ibu. Aku memang tidak berkeputusan memohon”
“Permohonanmu ternyata didengarNya”
“Ya, ibu”
Namun pembicaraan mereka terhenti. Ia melihat Ki Tumenggung keluar dari biliknya dan dengan tergesa-gesa pergi ke belakang.
“Ayah” panggil Paksi yang menjadi cemas. Tetapi Ki Tumenggung tidak mendengarnya. Bahkan ia berjalan terus ke belakang lewat pintu butulan.
Paksi seakan-akan diluar sadarnva telah bangkit pula mengikuti ayahnya sampai ke pintu. Dari pintu butulan ia melihat ayahnya memanggil seorang pembantunya. Dengan singkat Ki Tumenggung itu memberi perintah-perintah.
Paksi yang memiliki Aji Sapta Pangrungu sempat mendengar ayahnya berkata “Pergilah. Katakan, bahwa lampu itu telah menyala di Katumenggungan”
Paksi tahu bahwa ayahnya telah memberi isyarat sandi. Tetapi agaknya pembantu ayahnya itu sudah tahu kemana ia harus pergi, sehingga tanpa disebut pun ia tidak bertanya.
Ketika orang itu pergi ke kandang kuda, maka Paksi pun telah melangkah mundur dan kembali keruang dalam. Ayah Paksi pun telah masuk pula. Tanpa berpaling kepada Paksi dan ibunya yang berdiri termangu-mangu, Ki Tumenggung pun masuk kembali kedalam biliknya.
Namun ibu Paksi itu pun kemudian berkata, “Apakah kau akan mandi dahulu sebelum makan?”
Paksi ragu-ragu sejenak. Ia harus mengawasi ayahnya. Jika saja ayahnya menyerahkan cincin itu kepada orang lain.
“Pembantu yang membawa isyarat sandi itu perlu mendapat perhatian khusus” berkata Paksi didalam hatinya.
Karena itu, maka Paksi itu pun berkata, “Aku tidak mandi sekarang”
“Jadi?”
Sambil tersenyum Paksi berdesis, “Besok saja ibu. Dalam pengembaraan aku terpaksa tidak terlalu rajin untuk mandi”
Ibunya pun tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa.
Karena itu, sejenak kemudian, Paksi itu justru duduk di ruang dalam untuk makan. Namun dari tempatnya Paksi tahu jika ayahnya meninggalkan biliknya atau jika ada orang lain yang masuk kedalam bilik itu.
Paksi sengaja makan dengan perlahan-lahan. Karena ibunya menungguinya, maka Paksi pun berceritera panjang lebar tentang pengembaraannya. Paksi membuat dongeng tentang samadinya sehingga ia melihat bintang kecil yang seakan-akan jatuh dari langit, yang ternyata adalah cincin itu.
Setiap kali ibunya mengangguk-angguk. Nampak kekaguman memancar di sorot mata ibunya. Ternyata anak laki-lakinya itu adalah anak laki-laki yang berani.
Berbeda dengan bagian-bagian yang dirahasaikan, Paksi bercerita tentang keranda yang terbang di malam hari. Seluruh Kademangan menjadi ketakutan. Namun akhirnya Paksi dapat membongkar rahasia keranda terbang itu.
“O. Kau tidak menjadi katakutan melihat keranda terbang itu, Paksi?”
“Tentu tidak ibu. Sejak semula aku sudah tidak percaya bahwa ada keranda yang dapat terbang”
“O, orang-orang Kademangan itu tentu berterima-kasih kepadamu”
“Aku memang menjadi pahlawan ibu”
Ibunya tertawa. Ceritera itu menjadi sangat menarik baginya.
Sementara itu, kedua adik Paksi pun telah terbangun pula. Mereka pun kemudian telah ikut duduk diruang dalam menunggui Paksi yang sedang makan. Ternyata keduanya juga senang mendengarkan dongeng yang dibuat oleh Paksi. Bahkan keduanya tertawa tergelak-gelak ketika Paksi berceritera pula kepada mereka tentang keranda yang terbang itu.
Kedatangan Paksi membuat kedua adiknya itu bergembira., Selama Paksi pergi, berganti-ganti mereka bertanya, kenapa Paksi tidak segera pulang. Karena itu mereka merasa benar-benar gembira ketika Paksi berada di rumah lagi.
“Bukankah kakang tidak akan pergi lagi?” bertanya adik perempuan Paksi.
“Tidak” ibunya yang menjawab.
“Ayah tidak memerintahkan kakang untuk mencari cincin itu lagi?”
“Ah, jangan berbicara tentang cincin itu” desis ibunya yang mengetahui bahwa cincin itu adalah benda yang menjadi bahan rebutan banyak pihak.
Adik laki-laki Paksi pun berdesis “Kami bukan kanak-kanak lagi, ibu. Kami tahu, bahwa kami tidak boleh berbicara tentang cincin itu disembarang tempat. Tetapi bukankah disini tidak orang lain?”
Paksi tertawa. Adiknya memang sudah nampak remaja. Tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang mengisyaratkan bahwa adiknya adalah seorang laki-laki yang kokoh. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya.
Karena itu, maka Paksi pun berkata, “Tentu, kau tentu sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi barangkali adikmu masih harus diberitahu tentang sesuatu yang rahasia”
“Uh, kakang mengira bahwa aku masih kanak-kanak?”
Paksi tertawa pula. Katanya, “Setahun lebih aku mengembara. Kau sudah nampak benar-benar seperti seorang gadis”
“Ah”
Tetapi adik laki-laki Paksi pun menyahut, “Sekali-sekali sudah ada anak muda yang memandanginya tanpa berkedip”
Adik perempuan Paksi itu bangkit. Namun kakaknya dengan cepat bergeser. Katanya, “Jangan”
Paksi tertawa berkepanjangan. Ia senang melihat adik-adiknya yang nampak bergembira. Agak berbeda dengan Paksi sendiri. Sebelum ia meninggalkan rumahnya, jarang sekali ia sempat bergurau. Ada saja yang harus dilakukannya. Sebagai anak seorang Tumenggung, Paksi termasuk seorang anak muda yang prihatin. Namun justru dalam pengembaraannya, Paksi menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya.
Dalam pada itu, malampun bertambah dalam. Paksi yang sudah selesai makan, masih belum beranjak dari tempatnya.
“Beristirahatlah, Paksi” berkata ibunya kemudian.
“Sebentar ibu” jawab Paksi, “baru saja aku selesai makan”
“Tetapi kau tentu letih”
“Sedikit” jawab Paksi, “tetapi aku tidak apa-apa. Adik-adikku masih ingin mendengarkan aku berceritera tentang pengembaraanku”
Ibunya memandang adik-adik Paksi berganti-ganti. Katanya, “Apakah kalian tidak akan tidur lagi?”
“Aku senang mendengarkan kakang Paksi berceritera” jawab adik perempuannya.
Ibunya menarik nafas panjang. Sementara Paksi pun menyahut, “Aku juga masih belum ingin tidur ibu”
Ibunya tidak dapat memaksa mereka. Bahkan ibunya juga masih saja duduk bersama mereka diruang dalam. Mangkuk-mangkuk nasi dan sayur serta lauknya seadanya, masih belum disingkirkan.
Sebenarnyalah bahwa Paksi menunggu kedatangan Pangeran Benawa. Menurut pembicaraan mereka, Pangeran Benawa akan datang menjelang fajar. Sambil menunggu, Paksi mengisi waktunya dengan berceritera kepada adik-adiknya. Ceritera yang dikarangnya sekenanya saja. Namun yang dapat menimbulkan gelak dan tawa.
Dalam pada itu, malampun beringsut menjelang dini. Ayam jantan sudah terdengar berkokok lagi. Adik perempuan Paksi itu sudah mulai menguap. Ia mulai mengantuk lagi.
“Tidurlah” berkata ibunya, “masih ada waktu beberapa lama sebelum pagi”
Adik perempuan Paksi itu pun kemudian bangkit sambil berkata, “Bukankah kau tidak akan pergi lagi, kakang?”
“Tidak” jawab Paksi.
“Besok kau harus berceritera lagi. Panjang sekali.”
“Gantian” besok akulah yang akan berceritera.
“Apa yang dapat kau ceriterakan?”
“Banyak. Kancil yang suka mencuri timun” Adik perempuannya bergeser mendekatinya. Tetapi adik laki-laki Paksi itu bergerak lebih cepat menjauh.
“Sudahlah” berkata ibunya “tidurlah. Kakakmu tentu merasa letih. Tetapi karena ia tidak mau mengecewakan kalian, maka ia masih bertahan”
Adik perempuan Paksi itu pun kemudian telah pergi ke biliknya lagi. Demikian pula adik laki-laki itu pun berkala, “Aku akan tidur lagi, kakang. Kakang tentu juga letih”
Paksi tersenyum. Katanya, “Tidurlah. Sebentar lagi aku juga akan tidur”
Ketika kedua orang adiknya sudah tidur, maka ibunya pun berkata, “Tidurlah. Bilikmu masih bilik yang dahulu. Setiap hari aku membersihkannya. Karena itu, jika kau mau tidur, di bilikmu tidak terdapat banyak debu”
Paksi itu mengangguk. Katanya, “Baik ibu. Aku akan pergi ke pakiwan lebih dahulu”
Sejenak kemudian, setelah mencuci muka, tangan dan kakinya, Paksi pun telah duduk lagi di ruang dalam. Ibunya telah menyediakan pakaian sepengadeg jika Paksi mau berganti.
“Pakaianmu kusut dan kotor, Paksi”
Tetapi Paksi tertawa. Katanya, “Aku terbiasa memakai pakaian selembar ini untuk beberapa hari ibu. Kemudian mencucinya di kali sambil berjemur menunggu pakaian ini kering”
“Kau sekarang ada dirumah, Paksi. Suasananya tentu berbeda. Terserahlah kepadamu” berkata ibunya kemudian, “tetapi beristirahatlah”
“Baik, ibu, “ jawab Paksi.
Tetapi sebelum Paksi beringsut, ia mendengar derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya. Paksi itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kuda itu hanya seekor dan langsung berlari ke belakang. Paksi pun tahu, bahwa yang datang itu adalah pembantunya yang tadi yang menjalankan perintah ayahnya membawa isyarat sandi.
Sebenarnyalah, ayah Paksi yang juga mendengar derap kaki kuda itu, langsung keluar dari biliknya. Membuka pintu butulan dan bertanya saja sambil berdiri di pintu butulan, “Bagaimana?”
“Sudah Ki Tumenggung” jawab orang itu.
“Bagus” berkata Ki Tumenggung tanpa keluar dari pintu butulan.
Setelah menutup pintu butulan, maka ayah Paksi itu pun segera kembali kedalam biliknya. Sekilas ia memandang Paksi yang masih duduk di ruang dalam bersama ibunya. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya.
Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tidak bertanya apa-apa pula. Ia hanya memandangi ayahnya yang kembali masuk kedalam biliknya.
“Ternyata ayah juga belum tidur” berkata Paksi didalam hatinya. Paksi pun tahu, bahwa ada sesuatu yang dilakukan oleh ayahnya dengan cepat. Agaknya ayahnya juga tidak ingin terlambat. Namun Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu. Tetapi tentu ada hubungannya dengan cincin yang baru saja dibawanya pulang.
Karena itu, Paksi menjadi gelisah. Ia berharap bahwa Pangeran Benawa akan datang mendahului rencana ayahnya itu. Tetapi ibunya pun lelah bertanya lagi kepadanya, “beristirahatlah, Paksi. Bukankah kau letih?”
Paksi tersenyum. Katanya “Baik ibu. Aku akan beristirahat. Tapi beberapa saat lagi fajar akan menyingsing”
“Masih ada waktu meskipun hanya sedikit”
Paksi memang pergi ke biliknya. Tetapi ia tidak berbaring dan apalagi memejamkan matanya. Paksi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Tetapi kemudian ia justru menjadi bimbang. Siapakah yang datang itu. Pangeran Benawa atau orang-orang yang telah meneriman isyarat ayahnya. Diluar sadarnya, Paksi tiba-tiba saja meraih tongkatnya yang disandarkannya di dekat pembaringannya.
“Jika orang-orang itu bukan Pangeran Benawa dan akan mengambil, cincin itu, aku harus mencegahnya, apa pun yang terjadi” berkata Paksi didalam hatinya. Sejenak menunggu. Bahkan Paksi pun kemudian telah berdiri dipintu biliknya.
Sejenak kemudian terdengar pintu pringgitan di ketuk orang. Agaknya beberapa orang telah naik ke pendapa dan langsung ke pringgitan. Karena tidak segera ada jawaban, maka pintu itu telah diketuk lagi. Lebih keras.
Ibu Paksi pun telah berada di biliknya pula. Dengan nada cemas, ibunya itupur. berkata, “Kakang Tumenggung. Kakang dengar orang mengetuk pintu?”
“Ya” jawab Ki Tumenggung.
“Siapakah mereka itu?” bertanya istrinya.
Ki Tumenggung itu bangkit dari pembaringannya. Disambarnya kerisnya dan dikenakannya di punggungnya. Sambil mengenakan bajunya ia bertanya, “Siapa diluar?”
“Aku Ki Tumenggung” terdengar jawaban.
“Apakah kalian tidak dapat datang besok? Ini bukan waktunya untuk datang ke rumah seseorang”
Paksi mendengar kata-kata ayahnya itu. Dengan demikian Paksi tahu, bahwa yang datang itu tentu bukan orang-orang yang memang ditunggu oleh ayahnya, kecuali jika mereka dengan sengaja membuat satu permainan.
Tetapi ketukan pintu itu terdengar lagi. Terdengar suara diluar pintu, “Ada sesuatu yang sangat penting, Ki Tumenggung. Bukalah pintumu”
“Datanglah besok pagi”
“Aku perlu sekarang. Bukalah pintumu atau aku akan membukanya sendiri”
Ki Tumenggung menjadi bimbang. Meskipun sudah menyelipkan keris dipunggungnya, Ki Tumenggung itu masih menyambar tombak pendek di plonconnya.
Sementara itu Paksi pun telah keluar dari biliknya pula. Bahkan adik laki-lakinya yang juga menggenggam tombak pendek.
Ki Tumenggung memang nampak ragu-ragu. Namun terdengar suara diluar, “Ki Tumenggung. Bukalah pintunya. Yang datang adalah Pangeran Benawa”
Paksi menarik napas dalam-dalam. Tetapi tidak seorang pun yang memperhatikannya, karena orang-orang diruang dalam itu memusatkan perhatiannya kepada pintu pringgitan yang tertutup rapat dan diselarak dari dalam.
Ki Tumenggung benar-benar menjadi tegang. Bahkan ia pun telah berpaling. Dipandanginya Paksi dan adik Paksi itu berganti-ganti. Namun ayah Paksi itu tidak mengatakan sesuatu.
“Ki Tumenggung” terdengar suara yang lain.
Paksi langsung dapat mengenali suara itu. Suara Wijang. Tetapi ia tentu datang sebagai Pangeran Benawa.
“Aku datang untuk satu keperluan yang penting. Tolong Ki Tumenggung, bukalah pintu rumahmu. Aku bukan perampok yang akan merampok kekayaanmu”
Ki Tumenggung masih saja ragu-ragu. Nyi Tumenggung berdiri dibelakangnya dengan tubuh gemetar. Sementara itu Paksi dan adiknya berdiri tegak di depan bilik mereka masing-masing. Namun Ki Tumenggung tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pintu pringgitan.
“Kakang” desis Nyi Tumenggung.
“Masuklah kedalam bilik Nyi”
Nyi Tumenggung yang masih saja berdiri dengan gemetar. Paksi lah yang kemudian mendekatinya. Dibimbingnya ibunya masuk kedalam biliknya, “Sebaiknya ibu berada didalam bilik saja”
Nyi Tumenggung itu masih saja ragu-ragu. Namun Paksi membimbingnya, bahkan sedikit mendorongnya sehingga ibunya itu pun kemudian masuk kedalam biliknya.....
Ki Tumenggung pun kemudian telah mengangkat selarak pintu rumahnya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tumenggung itu pun melangkah mundur sambil mengangguk dalam-dalam.
“Pengeran Benawa” desis Ki Tumenggung.
“Bukankah namaku telah disebut”
“Hamba Pangeran. Tetapi hamba masih ragu-ragu. Di jaman seperti ini, banyak orang-orang yang memanfaatkan nama-nama orang penting untuk mengelabui orang lain”
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Aku tidak menyalahkan Ki Tumenggung yang berhati-hati, sehingga Ki Tumenggung harus membawa tombak untuk menyambut kedatanganku”
“Hamba mohon ampun, Pangeran”
“Barangkali Ki Tumenggung dapat menyimpan tombak pendek itu”
“Hamba Pangeran”
Ketika Ki Tumenggung kemudian meletakkan tombaknya didalam plonconnya, maka Pangeran Benawa pun bertanya, “Apakah kedua anak muda itu anak Ki Tumenggung”
“Hamba Pangeran” jawab Ki Tumenggung.
“Aku melihat keduanya agak berbeda. Tapi mungkin yang aku lihat hanya ujud lahiriahnya saja. Yang satu berpakaian wajar dimalam hari, sedangkan yang lain berpakaian agak aneh. Kusut dan kumal”
Ki Tumenggung memandang Paksi sekilas. Pakaiannya memang kusut dan kumal. Tetapi ia tidak menyangka bahwa Pangeran Benawa bakal datang malam itu dan sempat memperhatikan pakaian Paksi.
Paksi sendiri memandang Pangeran Benawa yang tersenyum. Pangeran Benawa yang dikenalnya bernama Wijang itu berpakaian lengkap sebagaimana seorang Pangeran. Meskipun di malam hari, tetapi Pangeran Benawa itu memang hadir sebagai Pangeran diiringi oleh beberapa orang pengawal.
Karena Ki Tumenggung sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka Pangeran Benawa pun kemudian berkata, “Sudahlah. Mungkin anak Ki Tumenggung yang satu itu memang lebih senang berpenampilan aneh seperti seorang pengembara”
“Hamba Pangeran” sahut Ki Tumenggung sambil membungkuk hormat.
“Nah, Ki Tumenggung. Aku minta maaf, bahwa malam-malam begini aku datang kerumah Ki Tumenggung. Ada sesuatu yang penting sekali yang harus aku bicarakan, menyangkut masa depan dari Kerajaan Pajang”
Jantung Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Ki Tumenggung itu bertanya, “Apakah titah Pangeran?”
“Ki Tumenggung. Selagi aku samadi, maka aku telah menerima satu isyarat yang sangat mendebarkan jantungku. Seakan-akan ada suara yang berdengung di telingaku, bahwa sebuah bintang akan jatuh dari langit” Pangeran Benawa itu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Rasa-rasanya ada pula yang mendorongku keluar sanggar. Sebenarnyalah aku telah melihat sebuah bintang kecil yang melayang dilangit dan jatuh dipermukaan bumi. Aku tidak tahu dengan pasti, arti dari isyarat itu. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, Kiai Waskita, nujum istana telah datang menemuiku, justru saat aku masih berdiri di halaman sanggar. Kiai Waskita juga menerima isyarat yang menurut pendapatnya sangat penting. Cincin Kerajaan yang hilang telah kembali ke Pajang. Tetapi tidak langsung masuk ke bangsal pusaka. Aku masih harus mengambil cincin itu”
Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin berdebaran. Arus darahnya bagaikan arus banjir bandang didalam nadinya
“Ki Tumenggung” berkata Pangeran Benawa, “menurut petunjuk Kiai Waskita serta isyarat yang aku terima, maka aku harus mengikuti cahaya yang menyala seperti pelita menyusuri jalan-jalan kota. Meskipun mula-mula aku tidak melihat pelita itu, tetapi aku pun telah bersiap bersama beberapa pengawal. Ternyata petunjuk Ki Waskita itu benar. Beberapa saat kemudian aku memang melihat cahaya api seperti pelita yang keluar dari bangsal pusaka. Aku dan para pengawalku mengikuti nyala pelita itu. Aku sendiri tidak menyangka, bahwa pelita itu akhirnya memasuki halaman rumah ini dan bahkan masuk kedalam menyusup pintu meskipun pintunya tidak terbuka”
Keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Tumenggung. Namun dengan gagap Ki Tumenggung itu menjawab, “Ampun Pangeran. Hamba tidak mengerti, apa yang Pangeran maksudkan?”
“Ki Tumenggung. Cincin kerajaan itu sekarang ada disini. Nah, jika Ki Tumenggung menyimpan cincin itu, tolong, berikan cincin itu kepadaku. Aku, atas nama ayah anda akan sangat berterima-kasih. Besok aku akan melaporkannya kepada ayahanda agar ayahanda itu sendiri memanggil Ki Tumenggung menghadap”
“Tetapi hamba mohon ampun. Hamba sama sekali tidak tahu menahu tentang cincin kerajaan itu, Pangeran”
“Maaf Ki Tumenggung. Bukannya aku tidak percaya kepada Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggung khilaf, tolong, apakah cincin itu ada disini atau tidak”
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Pangeran Benawa itu telah memberi isyarat kepada seorang yang menyertainya sambil berkata, “Kiai, kemarilah”
Seorang tua yang jambang, kumis dan janggutnya sudah bercampur putih, melangkah maju. Matanya nampak sayu. sebuah tongkat bambu digenggamnya dengan tangan kirinya.
“Ampun, Pangeran” desis orang itu.
“Nah, katakan, dimana cincin itu berada” Orang itu mengangkat wajahnya. Kemudian dimiringkannya kepalanya, seakan-akan ia sedang mendengarkan sesuatu.
“Cincin itu ada disini Pangeran”
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Tumenggung dengan tajamnya. Katanya, “Nah, kau dengar Ki Tumenggung. Cincin itu ada disini”
“Tetapi…, Pangeran Hamba tidak tahu, apakah sebenarnya yang Pangeran kehendaki. Hamba sama sekali tidak tahu tentang cincin yang Pangeran maksudkan”
“Kiai. Apakah Ki Tumenggung atau kau yang telah berbohong”
“Ampun Pangeran Hamba sama sekali tidak berani berbohong”
Tiba-tiba saja orang yang disebut Ki Waskita itu memandang Paksi dengan tanpa berkedip. Bahkan kemudian orang itu maju selangkah mendekatinya.
Paksi memang terkejut melihat kehadiran orang itu. Orang itu telah dikenalnya dengan baik, karena orang itu adalah Ki Marta Brewok. Tetapi penampilannya yang berbeda, serta kehadirannya di rumahnya itu memang membuat Paksi juga bertanya-tanya.
Ki Marta BrewoK nampak jauh lebih tua dari yang dikenalinya. Ia membuat jambang, kumis dan janggutnya menjadi bercampur putih. Bahkan nampak punggungnya sedikit bongkok bertumpu pada sebatang tongkat bambu.
Beberapa saat setelah Paksi berpisah dengan Wijang, ia masih sempat duduk di pinggir alun-alun beberapa lama. Baru kemudian ia meninggalkan Ki Marta Brewok itu untuk pulang sambil membawa cincin bermata tiga itu.
“Agaknya Ki Marta Brewok seorang yang dekat dengan Pangeran Benawa” berkata Paksi didalam hatinya.
Dalam pada itu, Ki Marta Brewok yang oleh Pangeran Benawa disebut Kiai Waskita itu pun mendekati Paksi sambil berkata, “Nah, anak muda. Aku melihat getar yang lain pada sorot matamu. Kenapa kau menjadi sangat gelisah d an ketakutan?”
Paksi benar-benar menjadi bingung, sementara Kiai Waskita melangkah semakin dekat
“Aku melihat hubungan anak ini dengan cincin itu, Pangeran. Kemudian aku melihat pula hubungan Ki Tumenggung dengan cincin itu pula”
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun suaranya masih tetap bernada rendah, “Ki Tumenggung. Jangan mempersulit tugasku. Atau ayahanda sendiri yang harus datang kemari? Bukankah itu tidak sewajarnya bahwa seorang raja harus turun dari istana untuk mengambil sebuah cincin, meskipun cincin itu cincin kerajaan?”
Ki Tumenggung benar-benar menjadi bingung. Meskipun Pangeran Benawa masih mengendalikan diri sepenuhnya, namun Pangeran yang masih muda itu akan dapat bertindak lebih keras lagi sesuai dengan kemudaannya.
Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Maafkan aku Ki Tumenggung. Jika aku mengatakan yang sebenarnya itu sama sekali bukan karena aku mengada-ada. Tetapi isyarat itu kami lihat dengan jelas. Maksudku, Pangeran Benawa melihatnya dan aku juga melihatnya. Aku tidak tahu apakah ada orang lain yang juga melihatnya, sehingga mereka pun akan datang kemari untuk berusaha merebutnya dari tangan Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung justru berdiri seperti patung. Jantungnya bergejolak didalam dadanya.
Dalam pada itu, dengan ujung tongkat bambunya, Kiai Waskita itu menyentuh perut Paksi sambil bertanya, “He, anak muda. Katakan sesuatu tentang cincin itu. Apakah cincin itu ada padamu sehingga Ki Tumenggung tidak tahu menahu?”
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Paksi pun menjawab, “Aku tidak tahu yang Kiai Waskita maksudkan. Jika disini dipersoalkan sebentuk cincin, maka aku sama sekali tidak tahu, cincin apakah yang sedang dipersoalkan itu”
Tetapi Kiai Waskita tertawa. Katanya “Kau tidak dapat menyembunyikan kegelisahanmu. Nah, katakan. Dimana cincin itu”
Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan tegas Paksi menjawab pula, “Aku tidak tahu”
“Kau membuat Pangeran Benawa marah” berkata Kiai Waskita.
Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang Pangeran Benawa, maka dilihatnya Pangeran Benawa itu tersenyum. Katanya “Anak muda. Jika kau mengetahui dimana cincin itu disimpan, tolong katakan kepadaku. Kau akan mendapat ganjaran yang memadai dengan keterangan itu, karena cincin kerajaan itu akan segera kembali ke bangsal pusaka”
Paksi menggelengkan kepalanya. Katanya “Hamba tidak mengetahui Pangeran”
Pangeran Benawa tertawa. Ia pun melangkah mendekati Paksi. Diamatinya pakaian Paksi yang kusut itu. Bahkan kemudian Pangeran Benawa itu melangkah mengitarinya.
“Pakaianmu aneh, anak muda. He, apakah kau benar anak Ki Tumenggung seperti juga anak muda yang satu itu?”
Paksi mengangguk.
“Kenapa kau memakai pakaian seperti ini?” Paksi tidak segera dapat menjawab. Tetapi tanpa disengaja ia memandang sepengadeg pakaian yang sudah disediakan oleh ibunya.
“Anak muda” berkata Pangeran Benawa, “kau masih mempunyai waktu untuk mengatakan, dimanakah cincin itu”
Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab.
Dalam kediaman itu, ruangan dalam rumah Ki Tumenggung itu terasa dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri di hadapan Paksi pun mulai bersikap lebih keras. Katanya “Jangan menghambat tugasku anak muda. Pada saat matahari terbit nanti, aku harus menghadap ayahanda dan menyerahkan cincin itu”
“Pangeran” berkata Paksi kemudian, “hamba tidak tahu menahu yang Pangeran maksudkan”
“Sekali lagi aku bertanya” Pangeran Benawa itu mulai membentak, “dimana cincin itu, he. Aku dapat mempergunakan kuasaku atas nama ayahanda untuk memaksamu berbicara”
Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Katakan anak muda. Katakan agar kau terlepas dari kemarahan Pangeran Benawa”
Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab.
Sebenarnyalah Paksi memang menjadi bingung. Apa yang harus dikatakannya. Sebelumnya Wijang dan Kiai Mana Brewok tidak mengatakan bahwa ia akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Paksi terkejut ketika ia mendengar Pangeran Benawa itu berkata, “Bawa semuanya ke halaman”
“Pangeran” sahut Ki Tumenggung, “apa maksud Pangeran?”
Pangeran Benawa mengulangi perintahnya, “Bawa semuanya ke halaman”
Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa itu pun segera bergerak. Mereka pun segera membawa Ki Tumenggung, Paksi dan adik laki-laki Paksi. Namun dalam pada itu, ia mendengar Ki Marta Brewok berbisik, “Kau harus tetap ingkar, Paksi”
Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian ia tahu, apa yang harus dilakukannya. Sejenak kemudian, mereka lelah berada di halaman. Paksi didorong berdiri di tengah-tengah. Pangeran Benawa yang berdiri dihadapannya itu pun bertanya sambil bertolak pinggang, “Siapa namamu, anak muda”
“Nama hamba Paksi, Pangeran” jawab Paksi.
“Nah Paksi. Katakan, dimana cincin itu sekarang. Menurut Kiai Waskita, menilik sikapmu dan tentu saja dari penglihatan yang lebih dalam dari sekedar melihat sikap dan ujud lahiriah itu, kau tahu dimana cincin iiu sekurang”
“Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu, apakah yang Pangeran maksudkan dengan cincin kerajaan itu”
Wajah Pangeran Benawa menjadi tegang. Suaranya menjadi semakin keras, “Katakan, Paksi. Selagi kau masih mempunyai kesempatan”
“Ampun Pangeran. Apa yang mesti hamba katakan” Nampaknya kemarahan Pangeran Benawa tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada salah seorang pengawalnya, “Berikan cambuk itu”
Paksi benar-benar menjadi tegang. Demikian pula Ki Tumenggung dan adik laki-laki Paksi itu.
“Kau mau mengatakan dimana cincin itu atau tidak, Paksi”
“Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu”
Tiba-tiba cambuk yang berjuntai panjang itu meledak. Paksi terkejut, sehingga ia bergeser selangkah surut.
Ki Tumenggung pun benar-benar menjadi cemas. Bukan karena Paksi yang akan disakiti. Tetapi yang dicemaskan adalah bahwa Paksi akan terpaksa mengatakan, bahwa cincin itu telah diberikan kepadanya.
“Paksi” bentak Pangeran Benawa, “aku tidak terbiasa melakukan dengan cara ini. Tetapi kali ini aku terpaksa melakukannya jika kau tetap tidak mau menunjukkan cincin itu.
Paksi sama sekali tidak menjawab.
Pangeran Benawa itu pun kemudian melangkah maju. Sementara Kiai Waskita telah mendekatinya sambil berkata, “Anak muda. Bukankah lebih baik jika kau tidak disakiti. Katakan dimana cincin itu”
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun telinga Paksi itu pun kemudian mendengar perlahan-lahan sekali, “Rapatkan kakimu”
Paksi tidak tahu, apa maksud Ki Marta Brewok. Tetapi Paksi itu pun kemudian berdiri tegak dengan kedua kakinya yang merapat.
“Kiai Waskita” berkala Pangeran Benawa, “menyingkirlah. Biarlah aku memaksa anak itu berbicara dengan caraku”
Ki Marta Brewok yang disebut Kiai Waskita itu pun kemudian bergeser menjahui Paksi sambil berkata, “Jangan biarkan tubuhmu sakit, ngger”
Tetapi Paksi tetap berdiam diri.
Pangeran Benawa lah yang kemudian mendekati Paksi. Tiba-tiba saja cambuknya terangkat dan terayun deras sekali menyambar kaki Paksi.
Satu ledakan yang keras kemudian terdengar. Adik Paksi memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat kaki kakaknya itu dikoyak oleh juntai cambuk yang panjang itu.
Paksi sendiri mengatupkan giginya rapat-rapat serta meningkatkan daya tahan tubuhnya. Namun ternyata Paksi sendiri merasa heran, bahwa lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit di kakinya, ujung cambuk itu rasa-rasanya hanya melingkari kakinya saja tanpa melukainya.
Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun membentak lagi, “Nah, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakannya?”
Paksi benar-benar berdiri tegak seperti patung. Ia sama sekali tidak bergerak, tetapi juga tidak berbicara.
Sekali lagi cambuk itu meledak. Juntainya melingkar di arah paha Paksi. Tetapi seperti yang pertama, lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit. Namun demikian, orang-orang yang menyaksikan lecutan-lecutan cambuk itu kulitnya terasa meremang. Adik laki-laki Paksi bukan saja memejamkan matanya, tetapi ia bergeser dan berpaling. Sementara Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Jika Paksi tidak tahan lagi, maka ia tentu akan berbicara tentang cincin yang sudah diserahkan kepadanya itu.
Dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa siap untuk mengayunkan cambuknya lagi, tiba-tiba ibunya berlari menghambur lewat pintu pringgitan menuruni tangga pcndapa, langsung memeluk anaknya. Sambil menangis ibu Paksi itu pun berkata, “Ampun Pangeran. Jangan sakiti anakku. Jika anakku salah dan harus dihukum, hukum saja hamba Pangeran”
“Anakmu bersalah” berkata Pangeran Benawa.
“Anakku tidak tahu apa-apa, Pangeran”
“Minggirlah, Nyi Tumenggung”
“Tidak. Aku tidak akan pergi. Biarlah aku yang mengalaminya. Biarlah aku dicambuk bahkan sampai mati sekalipun. Tetapi jangan anakku”
Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Nyi Tumenggung yang menangis itu dengan tajamnya.
Sementara itu, Paksi merasakan betapa hangatnya ia berada didalam pelukan ibunya. Setahun lebih ia mengembara, seakan-akan terlempar dari keluarganya. Seakan-akan Paksi itu tidak lebih dari kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang diterbangkan angin. Terbayang kembali peristiwa yang menimpa Wicitra. Ibunya juga memeluk Wicitra seperti ibunya. Ibu Wicitra itu juga bersedia menggantikan hukuman anaknya seperti ibunya.
Tetapi ayahnya berbeda dengan ayah Wicitra. Jika ayah Wicitra bersedia mati bagi anaknya, ayahnya sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika ia dicambuk. Untunglah bahwa yang mencambuk itu adalah Pangeran Benawa yang agaknya dapat mempermainkan cambuknya sehingga tidak sangat menyakitinya, meskipun juntai cambuk itu juga terasa menyengat kakinya.
Ki Tumenggung lah yang kemudian menjadi tegang. Pangeran Benawa itu melangkah mendekatinya dengan cambuk ditangannya.
“Ki Tumenggung segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tidak mau menunjukkan cincin itu kepadaku, maka aku akan memaksamu”
“Pangeran” berkata Ki Tumenggung, “hamba adalah seorang Tumenggung. Pangeran tidak dapat berbuat seperti itu terhadap hamba. Meskipun Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan. Tetapi apakah Pangeran berhak menghukum hamba, seorang Tumenggung yang diangkat berdasarkan kekancingan Kangjeng Sultan Hadiwijaya”
“Aku tidak akan menghukum Ki Tumenggung. Tetapi aku akan membawa Ki Tumenggung menghadap ayahanda. Kiai Waskita akan menjelaskan segala-galanya kepada ayahanda. Sementara itu, aku akan menggeledah rumah Ki Tumenggung. Kiai Waskita akan tahu, apakah cincin itu ada dirumah ini atau tidak”
“Pangeran” wajah Ki Tumenggung menjadi tegang, “hamba mohon Pangeran mengerti. Hamba tidak membawa cincin itu”
Pangeran Benawa tidak menghiraukannya. Katanya, “Aku sendiri akan mencari cincin itu didalam bersama Kiai Waskita”
“Pangeran” potong Ki Tumenggung.
Tetapi Pangeran Benawa itu berkata selanjutnya, “Bawa Ki Tumenggung dan anak ini kembali masuk kedalam”
Kepada Nyi Tumenggung Pangeran Benawa berkata, “Jika anak muda itu tidak Nyi Tumenggung lepaskan, maka ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi”
Nyi Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Kiai Waskita lah yang mendekatinya sambil berkata, “Nyi. Untuk kepentingan anakmu sendiri. Lepaskanlah anak itu. Ia akan kami bawa masuk kedalam bersama Ki Tumenggung untuk mencari cincin itu”
Nyi Tumenggung masih belum melepaskan Paksi, sehingga Kiai Waskita berkata, “Aku akan menanggung keselamatan anakmu”
Dengan sorot mata penuh kebimbangan Nyi Tumenggung itu memandang Kiai Waskita. Dengan nada yang meyakinkan Kiai Waskita berkata, “Percayalah kepadaku”
Akhirnya Nyi Tumenggung melepaskan Paksi yang kemudian digiring memasuki rumahnya kembali oleh Kiai Waskita sementara Ki Tumenggung telah dibawa oleh para pengawal Pangeran Benawa naik ke pendapa kemudian memasuki pringgitan.
Namun sementara itu Ki Marta Brewok sempal berdesis di telinga Paksi, “Dimana cincin itu disimpan?”
“Dibawa masuk kedalam bilik ayah” bisik Paksi.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung dan Paksi itu lelah berada diruang dalam. Beberapa orang pengawal berdiri didepan pintu.
Pangeran Benawa yang berada diruang dalam itu pun kemudian bertanya kepada Kiai Waskita, “Kiai, barangkali kita tidak dapat memaksa Ki Tumenggung untuk berbicara. Bahkan mungkin Ki Tumenggung benar-benar tidak tahu bahwa cincin itu ada di rumah ini, karena cincin itu datang sendiri. Karena itu, kita akan mencari dengan cara kita sendiri”
Kiai Waskita mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan mencoba, Pangeran”
Sejenak kemudian, Kiai Waskita itu pun berdiri ditengah-tengah ruang dalam. Ia pun merenung sesaat. Kemudian seperti orang yang mendengarkan sesuatu yang tidak jelas, Kiai Waskita memiringkan kepalanya.
Tiba-tiba saja Kiai Waskita itu melangkah perlahan-lahan. Tangan kirinya bertumpu pada tongkatnya. Punggungnya yang agak bongkok menjadi semakin bongkok.
Kepala Ki Tumenggung menjadi pening ketika ia melihat orang yang disebut Kiai Waskita itu melangkah kepintu bilik Ki Tumenggung. Didepan pintu Kiai Waskita itu berhenti. Katanya “Menurut pengamatan hamba, cincin itu ada didalam bilik ini, Pangeran”
“Ini bilik siapa Ki Tumenggung?”
“Bilik hamba, Pangeran”
“Nah, Ki Tumenggung. Kami akan mencari cincin itu di-bilik Ki Tumenggung. Tetapi agar Ki Tumenggung tidak menuduh kami mengambil sesuatu milik Ki Tumenggung, aku minta Ki Tumenggung menunggui kami disaat kami mencari cincin itu didalam bilik Ki Tumenggung”
“Sebenarnya hamba memang berkeberatan, Pangeran. Didalam bilik itu tersimpan perhiasan-perhiasan Nyi Tumenggung. Benda-benda pusaka simpanan hamba dan benda-benda berharga lainnya”
Pangeran Benawa mengangguk-anguk. Katanya, “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Jika demikian, aku persilahkan Ki Tumenggung sajalah yang mencari cincin itu. Kami akan menungguinya. Seperti yang aku katakan, mungkin cincin itu datang sendiri ke rumah ini. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang Ki Tumenggung sendiri tidak tahu”
“Tetapi…”
“Seharusnya Ki Tumenggung tanggap akan maksudku dengan kesempatan yang aku berikan ini. Karena aku mempunyai cara lain yang tentu tidak akan Ki Tumenggung senangi”
Ki Tumenggung berdiri termangu-mangu. Sementara Pangeran Benawa berdesis perlahan, “Cara ini mungkin untuk menyatakan bahwa Ki Tumenggung tidak bersalah”
Ki Tumenggung tidak dapat berbuat lain. Ia menyadari, bahwa Pangeran Benawa sudah memberikan kesempatan kepadanya, sehingga ia dapat dianggap tidak bersalah. Tetapi beratnya untuk menyerahkan cincin itu. Cincin yang diburu oleh Paksi untuk waktu yang panjang. Lebih dari setahun.
Tetapi jika Pangeran Benawa kehilangan kesabaran dan menggeledah sendiri bilik itu dan menemukannya, maka ia tidak akan dapat ingkar, bahwa ia dapat dituduh menyembunyikan cincin Kerajaan atau bahkan lebih buruk dari itu. Ia dapat dituduh mencuri cincin Kerajaan yang hilang itu karena terbukti dapat diketemukan dirumahnya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itu akhirnya berkata, “Baiklah, Pangeran. Aku akan mencarinya. Memang mungkin cincin itu turun dari langit dan langsung masuk kedalam rumahku dan bahkan kedalam bilikku”
Dengan lesu Ki Tumenggung itu pun kemudian masuk ke-dalam biliknya. Sementara Pangeran Benawa berdiri dipintu. Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung selain mengambil cincin itu dan kemudian menyerahkannya kepada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa yang berdiri dimuka pintu menerima cincin itu sambil tersenyum. Namun ia pun masih juga berdesis perlahan sekali, “Ki Tumenggung, sebenarnyalah Kiai Waskita tahu bahwa cincin itu tidak turun dari langit. Tetapi cincin itu tentu dibawa oleh seseorang kemari. Getaran panggraitanya yang tajam tidak dapat ditipu dengan cara apa pun juga. Tetapi jika aku berkata demikian dihadapan para pengawal, maka berarti harus ada orang yang ditangkap dan dituntut karena telah menyembunyikan cincin kerajaan”
Ki Tumenggung tidak menyahut. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun demikian, terasa didadanya seakan-akan ombak di lautan yang didera prahara berdeburan menghantam tebing.
“Nah, sudahlah. Persoalan ini aku anggap selesai. Aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Besok aku akan menghadap ayahanda dan berusaha untuk meredam persoalan ini agar tidak berkepanjangan”
“Terima-kasih, Pangeran” desis Ki Tumenggung.
“Sekarang, aku minta diri”
Ketika kemudian Pangeran Benawa keluar dari ruang dalam, maka para pengawalnya yang berdiri dimuka pintu pringgitan pun mengikutinya pula. Demikian pula Kiai Waskita dan Ki Tumenggung. Dibelakangnya Paksi melangkah dengan ragu-ragu.
Namun demikian Pangeran Benawa berada di pendapa bersama beberapa orang pengawalnya serta Kiai Waskita, tiba-tiba saja diluar dugaan siapapun, Ki Tumenggung itu berkata, “Ampun Pangeran… Jika hamba boleh berterus terang. Anak hamba itulah yang telah membawa cincin ini pulang”
“He” Pangeran Benawa itu benar-benar terkejut mendengar pengakuan itu. Demikian pula Ki Marta Brewok dan apalagi Paksi sendiri.
Pangeran Benawa yang kemudian berdiri tegak di pendapa itu bertanya dengan suara bergetar, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Hamba Pangeran. Pangeran melihat sendiri, bahwa anak hamba itu masih mengenakan pakaian seorang pengembara. Dalam pengembaraannya itulah ia menemukan cincin itu dan dibawanya pulang. Diserahkannya cincin itu kepada hamba, sehingga dengan demikian hamba tidak tahu menahu, dari mana anak hamba itu mendapatkan cincin kerajaan itu”
Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa serentak bergeser. Meskipun mereka belum menerima perintah apapun, namun mereka tiba-tiba saja sudah bersiaga.
Untuk beberapa saat Pangeran Benawa tercenung. Ia memang agak bimbang menanggapi laporan Ki Tumenggung itu. Namun Pangeran Benawa itu pun tanggap pula, bahwa dalam saat yang gawat itu, Ki Tumenggung masih sempat berusaha untuk menyingkirkan anak sulungnya itu.
Paksi sendiri pun segera mengetahui maksud ayahnya itu. Dengan demikian, maka Paksi lah yang harus bertanggung-jawab tentang cincin kerajaan yang berada di rumahnya itu.
Pendapa rumah Ki Tumenggung itu pun kemudian telah dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang tidak siap menghadapi keadaan itu, memang harus berpikir, apa yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu, para pengawalnya telah siap untuk menjalankan perintah yang setiap saat diucapkan dari mulutnya.
Pangeran Benawa memang dapat menguasai para pengawalnya itu dengan baik. Ia pun dapat memerintahkan para pengawalnya untuk merahasiakan apa yang terjadi seandainya dikehendakinya. Tetapi Pengeran Benawa tidak yakin, bahwa sekian banyak mulut para pengawalnya itu tidak ada satu pun yang terlanjur mengucapkan rahasia itu kepada orang lain sehingga rahasia itu akan dapat merambat sampai ke mana-mana, seandainya ia mengabaikan laporan Ki Tumenggung.
Pengeran Benawa pun kemudian telah melangkah mendekati Ki Tumenggung. Pangeran Benawa itu berdiri hanya selangkah saja dihadapannya.
“Kenapa tidak kau katakan hal ini sejak aku datang? Kenapa kau ingkar, bahwa dirumah ini terdapat cincin Kerajaan?”
“Ampun Pangeran. Hamba hanya ingin melindungi anak hamba”
“Jika demikian, kenapa justru pada saat segala-galanya aku anggap selesai, kau justru mengatakan bahwa anakmulah yang telah membawa cincin itu?”
“Pangeran. Hamba ternyata tidak dapat mempertahankan kebohongan itu. Perasaan bersalah telah menekan jiwa hamba, sehingga akhirnya hamba memang harus berterus-terang. Kenyataan yang buruk tidak akan dapat disembunyikan selama-lamanya, sehingga akhirnya aku memilih untuk berterus-terang”
“Ternyata kau memberikan pengakuan yang berbelit-belit, Ki Tumenggung. Tetapi baiklah. Aku sadari, bahwa aku tidak dapat bertindak tergesa-gesa terhadap seorang Tumenggung yang mendapat surat kekancingan langsung dari ayahanda. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada ayahanda. Tetapi tentang anakmu, akulah yang akan menentukan, apakah anakmu akan digantung atau dipancung”
Tiba-tiba terdengar ibu Paksi menjerit. Ia pun berlari dan sekali lagi memeluk anaknya.
“Jangan bawa anakku” teriak Nyi Tumenggung.
Pangeran Benawa yang tidak menduga menghadapi persoalan itu memang agak menjadi bingung. Apa yang sebaiknya dilakukan. Namun dalam pada itu, Kiai Waskita pun telah mendekati Nyi Tumenggung sambil berkata, “Kau tidak dapat menahan anakmu, Nyi. Ia harus ikut bersama Pangeran Benawa”
Namun kemudian hampir berbisik Kiai Waskita berkata, “Jangan cemas, Nyi. Aku akan melindunginya”
Tiba-tiba tangis Nyi Tumenggung itu mereda. Nada suara itu pernah didengarnya. Lembut dan menyentuh perasaannya.
Kiai Waskita itu pun berkata pula, “Lebih baik kau menyerahkan anakmu daripada persoalannya berkepanjangan. Jangan membuat Pangeran Benawa merasa terganggu dengan tingkahmu, Nyi”
Namun kemudian Kiai Waskita itu berbisik lagi, “Percayalah kepadaku”
Nyi Tumenggung tidak menyadari, pengaruh apa yang telah mencengkam jantungnya, sehingga Nyi Tumenggung itu melepaskan anaknya. Sementara Paksi sendiri berbisik, “Memang ibu jangan cemas. Aku sudah mengenal Kiai Waskita dengan baik”
“Berkidunglah tembang Asmarandana, Nyi” desis Kiai Waskita kemudian, “kau pandai melagukannya. Kemudian kau pun harus selalu berdoa kepada Sang Pencipta untuk keselamatan anakmu”
Kiai Waskita itu pun kemudian telah menarik lengan Paksi sambil berkata, “Ikut kami. Jika kau ingin membawa tongkatmu, bawalah”
Paksi tidak menolak. Katanya kepada ibunya, “Aku minta diri ibu”
Ibunya melepaskan Paksi dengan air mata yang mengalir di pipinya. Tetapi ada sesuatu yang aneh pada orang berewok yang bernama Kiai Waskita itu. Suaranya yang lembut itu seakan-akan pernah didengarnya. Bahkan orang itu menyebut tembang yang memang sering dilagukannya dahulu.
Terasa ada sesuatu yang aneh pada orang itu. Namun Nyi Tumenggung itu pun tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia percaya kepada orang itu.
Kiai Waskita pun kemudian telah membawa Paksi turun ke halaman. Sementara Pangeran Benawa pun telah bersiap pula meninggalkan halaman rumah itu. Seorang pengawal telah memegangi kendali kudanya ketika tiba-tiba saja beberapa orang berkuda memasuki halaman rumah Ki Tumenggung.
Namun orang itu terkejut ketika mereka melihat Pangeran Benawa ada di halaman rumah itu pula, sehingga dengan serta-merta orang-orang itu pun berloncatan turun.
“Paman Harya Wisaka” desis Pangeran Benawa.
Harya Wisaka tertegun sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Angger Pangeran Benawa. Kenapa angger berada disini?”
“Aku telah mengambil cincin kerajaan yang hilang itu paman. Cincin itu ada disini. Kiai Waskita dengan ketajaman panggraitanya dapat menangkap getarnya sehingga kami datang kemari untuk mengambilnya. Nah, kenapa paman pagi-pagi buta juga datang kemari?”
Harya Wisaka menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata nalarnya memang trampil sehingga ia pun segera menjawab, “Aku terbiasa berkuda di pagi-pagi buta mengelilingi kota. Bukankah angger tahu itu? Dengan laku seperti itu, kesehatanku akan tetap terjaga. Pada umurku sekarang, aku berani berlomba melawan anak-anak muda, khususnya dalam ketrampilan menguasai kuda. Tetapi aku pun bersedia berlomba dalam hal apa saja”
Pangeran Benawa mengerutkan dahinya Katanya, “Paman memang luar biasa”
“Pagi ini kebetulan aku berkuda lewat didepan rumah ini. Aku tertarik mendengar sedikit keributan, sehingga aku pun kemudian singgah”
“Apakah terjadi keributan disini?” bertanya Pangeran Benawa.
“Apa pun yang terjadi, tetapi yang terjadi itu sangat menarik perhatianku”
“Jika demikian, baiklah. Kami akan meninggalkan tempat ini. Kami telah berhasil mendapatkan cincin itu. Kami akan membawa anak muda yang telah membawa cincin itu ke rumah ini. Anak laki-laki sulung Ki Tumenggung”
Harya Wisaka tidak menyahut. Tetapi nampak wajahnya menjadi tegang.
Pangeran Benawa pun kemudian telah meloncat kepunggung kudanya. Ia pun kemudian berkata kepada seorang pengawalnya, “Berikan salah satu kuda kalian kepada anak muda itu. Kalian dapat berkuda berdua”
Namun sebelum kuda Pangeran Benawa itu bergerak, Pangeran Benawa itu masih berkata, “Paman, aku tertarik akan kesediaan paman untuk berlomba ketrampilan menguasai kuda tetapi juga dalam hal apa saja”
“Kenapa?” bertanya Harya Wisaka.
“Suatu kali aku ingin melakukannya”
Wajah Harya Wisaka menjadi panas. Dengan lantang ia pun menyahut, “Bagus ngger. Aku terima tantangan itu. Kapan angger ingin melakukannya”
“Terserah kepada paman. Aku siap setiap saat” jawab Pangeran Benawa sambil menggerakkan kendali kudanya.
Darah Harya Wisaka tersirap. Ia merasa ditantang oleh anak-anak yang baru kemarin berani naik ke punggung kuda. Tetapi dihadapan para pengawal, Harya Wisaka tidak dapat berbuat apa-apa. Namun Harya Wisaka itu pun masih juga menjawab, “Terima kasih atas kesempatan yang angger Pangeran berikan itu. Aku tidak akan pernah melupakannya”
Pangeran Benawa tidak menghiraukannya lagi. Bahkan berpaling pun tidak. Bersama para pengawalnya Pangeran Benawa meninggalkan halaman rumah ayah Paksi yang mendapat gelar Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Sepeninggal Pangeran Benawa, maka ibu Paksi pun segera berlari masuk kedalam biliknya. Ia pun segera menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringan.
“Ibu” terdengar suara anak laki-lakinya, adik Paksi. Nyi Tumenggung itu pun mencoba menahan isaknya.
“Jangan menangis, ibu. Kakang Paksi akan dapat menjaga dirinya sendiri”
Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil berdesis, “Kenapa hal ini harus terjadi atas kakakmu. Ia baru saja pulang dari pengembaraannya. Kini ia justru telah ditangkap dan dibawa oleh Pangeran Benawa. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu justru menunjuk kakakmu ketika Pangeran Benawa itu sudah siap untuk beranjak pergi”
“Aku juga tidak mengerti, ibu. Seharusnya ayah tidak melakukannya”
Nyi Tumenggung itu pun bangkit ketika ia melihat anak gadis remajanya berdiri di depan pintu biliknya.
“Ibu, apa yang terjadi. Aku takut sekali ibu”
“Kemarilah, ngger” desis Nyi Tumenggung.
Gadis remaja itu pun berlari langsung memeluk ibunya. Tubuhnya gemetar oleh ketakutan yang sangat.
“Jangan takut” kakaknya mencoba untuk menenangkannya, “besok aku akan mencari keterangan tentang kakang Paksi. Aku yakin, Pangeran Benawa tidak akan berbuat sewenang-wenang”
“Apa yang terjadi dengan kakang Paksi?” bertanya adik perempuannya yang tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Sedikit kesalah-pahaman. Hanya itu” jawab kakaknya.
“Kau harus tidur lagi, ngger” desis Nyi Tumenggung.
“Sudah pagi ibu. Sebentar lagi kita harus sudah bangun”
“Kembalilah ke bilikmu. Masih ada waktu untuk beristirahat” berkata kakaknya.
Tetapi gadis remaja itu menggeleng, katanya, “Aku disini saja bersama ibu”
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Ibu akan pergi ke dapur dan membangunkan para pembantu. Di pendapa ada beberapa orang tamu. Ayahmu tentu minta dibuatkan minuman bagi mereka”
“Aku ikut ibu pergi ke dapur”
Nyi Tumenggung tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka diajaknya anak gadisnya pergi ke dapur, sementara kakaknya kembali ke biliknya.
Meskipun anak muda itu kembali berbaring di pembaringannya, tetapi ia tidak dapat memejamkan matanya. Ia memang merasa heran atas tingkah laku ayahnya yang dengan sengaja menyurukkan kakaknya kedalam kesulitan. Seandainya ayahnya itu tidak menunjuk Paksi, maka menurut Pangeran Benawa, persoalannya tentu tidak akan mempermasalahkannya lagi.
Sementara itu, tiba-tiba saja telah datang Harya Wisaka dengan beberapa orang pengikutnya, sehingga anak muda itu bertanya didalam hatinya, “Apakah ada hubungan antara sikap ayah itu dengan kehadiran Harya Wisaka. Atau kehadiran Harya Wisaka itu ada hubungannya dengan kedatangan kakang Paksi yang membawa cincin kerajaan itu?”
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi dalam kaitannya dengan cincin kerajaan itu.
Dalam pada itu, di halaman, Harya Wisaka menjadi sangat tegang. Kemarahannya serasa membakar jantungnya ketika ia mendengar dari Ki Tumenggung tentang sikap Pangeran Benawa.
“Apakah benar kau mendapat isyarat dari langit tentang kehadiran cincin itu dirumah Ki Tumenggung?”
“Aku tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah menuntun Pangeran Benawa itu kemari”
“Yang aku ketahui, cincin itu justru dibawa oleh Pangeran Benawa yang justru telah meninggalkan istana beberapa lama. Bagaimana mungkin cincin itu dapat jatuh ketangan anakmu”
“Tetapi ternyata anakku dapat menemukannya disebuah belumbang kecil. Ia melihat cahaya yang seakan-akan jatuh dari langit dan jatuh dibelakang sebuah gerumbul. Ternyata di belakang gerumbul itu terdapat sebuah belumbang”
Harya Wisaka termangu-mangu sejenak, la mencoba menghubungkan peristiwa demi peristiwa. Demikian beruntun.
“Hampir saja aku justru terjebak” desis Harya Wisaka.
“Aku tidak sempat memberitahukan, bahwa Pangeran Benawa telah datang kemari” jawab Ki Tumenggung.
“Tetapi berhati-hatilah, Ki Tumenggung. Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang cerdik dan berani. Ia tentu mempunyai prasangka buruk terhadapku karena aku datang kemari pagi-pagi buta”
“Tetapi itu lebih baik daripada Pangeran Benawa datang kemudian” berkata Ki Tumenggung.
Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. la dapat langsung melibatkan aku dalam soal cincin ini”
“Sekarang, semua kesalahan telah aku limpahkan kepada Paksi. Biarlah Paksi bertanggung jawab atas cincin itu”
“Kenapa Ki Tumenggung justru melimpahkan tanggung-jawab kepada anak Ki Tumenggung? Kenapa Ki Tumenggung tidak justru melindunginya?”
“Anak iblis. Biar ia belajar memahami arti hidup. Anak itu tidak boleh menjadi benalu dirumah, meskipun ia anakku”
“Kau termasuk orang yang aneh, Ki Tumenggung. Baru saja ia pulang dari sebuah pengembaraan yang panjang sambil membawa cincin kerajaan yang hilang itu”
“Tetapi kehadiran anak itu dirumah hanya akan menimbulkan bencana saja”
“Apakah Ki Tumenggung akan membiarkan anak itu dihukum jika ia dianggap bersalah?”
“Apa yang harus aku lakukan? Jika aku melibatkan diri, maka tentu akulah yang akan dihukum”
Harya Wisaka mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita memang tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi pada anakmu yang berada di tangan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah orang yang aneh”
Ki Tumenggung mengangguk-angguk.
“Kau dengar, Pangeran Benawa itu menantang aku?”
“Ya”
“Banyak kemungkinan dapat terjadi” Ki Tumenggung itu tidak menjawab.
“Sudahlah” berkata Harya Wisaka, “aku akan kembali. Perburuan akan beralih didalam kota. Pangeran Benawa ternyata telah berada diistana kembali. Seandainya Pangeran Benawa itu tertangkap dimasa pengembaraannya, maka sia-sialah kematiannya. Ia akan mengalami nasib yang sangat buruk, justru karena cincin itu tidak ada padanya”
“Tidak seorang pun yang akan percaya bahwa cincin itu tidak ada padanya”
“Ternyata cincin itu ada pada anakmu yang sekarang kau surukkan kedalam mala-petaka”
Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi ia merasakan sesuatu yang ganjil pada tekanan kata-kata Harya Wisaka.....
“Apakah Harya Wisaka itu telah mencurigai aku?” bertanya Ki Tumenggung itu kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, maka Harya Wisaka pun berkata, “Nah, Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Aku minta diri. Mudah-mudahan kita berhasil untuk menggenggam cita-cita”
Harya Wisaka itu justru mendekati Ki Tumenggung, “Cincin itu harus jatuh ketanganku. Pangeran Benawa haruss mati. Pajang akan kehilangan seluruh masa depannya”
“Bukankah ada lajur lain yang dapat temurun dan menguasai tahta Pajang?”
“Cincin kerajaan itu ada padaku. Aku akan mempergunakan pengaruhnya untuk memaksakan kehendakku. Banyak orang yang akan mendukung kehadiranku di Pajang”
Ki Tumenggung tidak menjawab. Sementara itu, Harya Wisaka pun telah minta diri dan meninggalkan halaman rumah Ki Tumenggung.
Dalam pada itu, anak laki-laki Ki Tumenggung yang semula berbaring didalam biliknya, ternyata telah menyelinap keluar. Biliknya terasa panas sekali. Bahkan kegelisahannya membuatnya tidak betah berbaring didalam biliknya dan lewat pintu butulan ia berdiri di pintu seketeng. Diluar kehendaknya, ia justru mendengar pembicaraan ayahnya dengan Harya Wisaka. Anak muda itu menyesal sekali, bahwa ia telah mendengar pembicaraan itu. Ia merasa kecewa sekali terhadap sikap ayahnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, yang didengarnya itu justru menjadi beban yang terasa sangat berat di hatinya.
“Apa yang sebenarnya ayah kehendaki? Pangkat? Derajad? Atau apa?” bertanya anak muda itu didalam hatinya, “sekarang pun ayah telah memilikinya. Ayah adalah seorang Tumenggung. Ayah adalah seorang yang cukup dihormati. Hidupnya berkecukupan. Apalagi? Apakah ayah ingin menjadi Tumenggung Wreda atau malah menjadi seorang Patih jika benar Harya Wisaka berhasil menguasai Pajang?”
Sejenak kemudian, halaman rumah Ki Tumenggung yang luas itu menjadi sepi. Harya Wisaka dan para pengikutnya telah meninggalkan halaman itu. Sementara itu Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun telah masuk pula keruang dalam. Ketika dilihatnya adik Paksi itu berada diserambi, ia pun bertanya, “ Apa yang kau lakukan disitu?”
“Aku tidak dapat tidur ayah, “ jawab anak muda itu.
“Dimana ibumu?”
“Didapur ayah. Ibu ingin menyiapkan minuman buat tamu-tamu ayah itu”
“Mereka sudah pulang”
“Mungkin airnya belum mendidih”
Ki Tumenggung pun kemudian telah pergi ke dapur. Dilihatnya Nyi Tumenggung duduk diamben panjang. Disisinya duduk anak perempuannya yang masih saja gemetar.
“Kenapa kau umpankan Paksi, Ki Tumenggung” berkata Nyi Tumenggung.
“Aku umpankan? Bukankah aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tetapi bukankah Ki Tumenggung dapat berdiam diri tanpa menunjuk kepada Paksi?”
“Jadi kau ingin leherku dijerat ditiang gantungan oleh Kangjeng Sultan?”
“Bukankah Pangeran Benawa tidak membawa kakang Tumenggung? Pangeran Benawa itu sudah akan meninggalkan rumah kita ketika tiba-tiba saja kakang menyebut nama Paksi”
“Pangeran Benawa memang tidak membawa aku malam ini. Tetapi besok beberapa orang prajurit akan datang dan menyeretku ke alun-alun. Ditengah-tengah alun-alun sudah siap tiang gantungan yang akan menjerat laherku itu”
“Aku tidak yakin bahwa itulah yang akan terjadi atas kakang Tumenggung seandainya kakang Tumenggung tidak menyebut nama Paksi. Tetapi tadi Pangeran Benawa sudah mengatakan, bahwa Paksi akan dapat digantung atau dipancung menurut keputusan Pangeran Benawa sendiri”
“Itu terjadi diluar kuasaku”
“Kalau saja ayah tidak menyebut nama kakang Paksi” desis adik perempuan Paksi.
“Diam kau. Kau tidak tahu apa-apa. Apakah ibumu sudah meracuni otakmu sehingga kau dapat berkata seperti itu?”
Namun terdengar suara adik laki-laki Paksi dipintu dapur, “Ayah sebenarnya tidak perlu menyebut nama kakang Paksi dihadapan Pangeran Benawa”
“Jadi kau juga ingin melihat tubuhku tergantung di alun-alun?”
“Aku tidak ingin melihat tubuh ayah tergantung di alun-alun. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kakang Paksi dipancung besok”
“Salah satu diantara kita akan dikorbankan. Aku mengenal watak Pangeran Benawa yang bengis”
“Seharusnya ayah bertahan sampai saat terakhir. Jika ayah menganggap bahwa kakang Paksi memang lebih baik dikorbankan daripada ayah sendiri, maka baru pada saat terakhir, jika segala usaha sudah gagal, ayah dapat menyebut nama kakang Paksi”
“Tutup mulutmu” bentak ayahnya, “kau memang dungu. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi. Karena itu, jangan ikut campur. Aku tahu apa yang terbaik yang harus aku lakukan. Aku pun harus menegakkan kembali wibawaku di rumah ini. Nyi Tumenggung harus menyadari hal ini. Aku tidak mau kau bersikap seperti saat Paksi itu datang, Nyi. Aku laki-laki dan kau tidak lebih dari seorang perempuan. Kau tahu, siapa yang berkuasa dirumah ini siapa pun kau”
Nyi Tumenggung melihat mata suaminya menjadi merah. Meskipun demikian, naluri seorang ibu masih saja berusaha untuk membela anaknya. Karena itu, maka Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Tetapi aku tidak rela, bahwa Paksi harus menanggung akibatnya karena cincin itu ada dirumah ini. Jika Paksi pergi mencari cincin itu, bukankah ia menjalankan perintah kakang? Jika ia pulang membawa cincin itu, semata-mata karena baktinya kepada ayahnya. Tetapi apa yang diperbuat ayahnya terhadapnya?”
“Cukup” teriak Ki Tumenggung. Hampir saja tangannya menyambar wajah Nyi Tumenggung. Tetapi anak perempuannya segera memeluk ibunya, sementara adik laki-laki Paksi berusaha menahan tangan ayahnya.
Sambil mengibaskan tangannya, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu berkata, “Persetan dengan kalian. Siapa yang tidak mau tunduk kepadaku, pergi dari rumah ini?”
Namun Nyi Tumenggung menyahut, “ Siapa yang harus pergi dari rumah ini?”
Telinga Ki Tumenggung bagaikan disentuh api. Tetapi anak perempuannya telah menarik ibunya kepintu, sementara anaknya laki-laki masih berusaha menghalangi ayahnya itu.
Ki Tumenggung itu menggeratakkan giginya. Bagaimanapun juga wibawanya sebagai pemimpin di rumah itu memang sudah ternoda.
Dalam pada itu cahaya fajar pun mulai mewarnai langit. Kemerah-merahan. Tetapi Ki Tumenggung justru kembali ke biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Namun matanya tidak dipejamkannya. Bahkan giginyalah yang gemeretak menahan geram di hatinya.
“Aku gagal menggantungkan harapan karena cincin itu tidak jadi jatuh ketangan Harya Wisaka” katanya didalam hatinya Lalu, “Bahkan agaknya Harya Wisaka justru mencurigai aku”
Tiba-tiba Ki Tumenggung itu pun bangkit. Dihentakkan tangannya padat bibir pembaringannya. Ki Tumenggung memang menjadi sangat gelisah. Demikian pula Nyi Tumenggung, meskipun dengan alasan yang berbeda. Ki Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasibnya sendiri, sementara Nyi Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasib anaknya.
Tetapi hari itu, Ki Tumenggung tidak pergi ke istana untuk menjalankan tugasnya. Ia tinggal saja dirumah dengan sangat gelisah, seakan-akan sedang pasrah menunggu nasib. Ki Tumenggung memang tidak yakin, bahwa dirinya tidak akan dilibatkan dalam persoalan cincin kerajaan itu. Kadang-kadang Ki Tumenggung memang menyesal, kenapa ia tergesa-gesa menyebut nama Paksi justru pada saat Pangeran Benawa sudah menyatakan untuk menutup persoalan cincin Kerajaan yang baru saja diketemukannya itu. Namun ia pun kemudian menggeram, “Tidak. Aku sudah bersikap benar. Pangeran Benawa yang aneh itu tidak dapat dipegang kata-katanya. Meskipun ia sudah mengatakan bahwa persoalannya sudah dilepaskannya, namun dapat saja tiba-tiba Ki Tumenggung itu dipanggil menghadap ke istana untuk diadili. Atau bahkan tiba-tiba saja beberapa orang prajurit dengan membawa pertanda kekuasaan Kangjeng Sultan datang menjemputnya untuk dibawa langsung menghadap untuk menerima hukuman. Bahkan mungkin hukuman gantung atau pancung.
Sehari Ki Tumenggung menunggu tetapi tidak ada utusan dari istana untuk menyampaikan perintah apapun.
“Apa yang terjadi di istana?” bertanya Ki Tumenggung kepada diri sendiri.
Sementara itu di rumah, Ki Tumenggung selalu marah-marah. Adik laki-laki Paksi pun tidak beranjak dari rumahnya. Ia takut bahwa tiba-tiba saja ayahnya menumpahkan kemarahannya kepada ibunya. Sementara itu, adik perempuannya selalu berada disamping ibunya.
Pada hari berikutnya kegelisahan Ki Tumenggung terasa semakin mencengkam. Karena itu, maka ia tidak lagi ingin tinggal dirumah. Tetapi Ki Tumenggung itu pun telah pergi ke istana. Ki Tumenggung mencoba untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ia hadir ditempat tugasnya seperti tidak terjadi apa-apa atas dirinya dan anak laki-lakinya.
Ki Tumenggung itu menjadi heran. Ia tidak mendengar seorang pun diantara kawan-kawannya bertugas menyebut-nyebut tentang cincin kerajaan yang telah diketemukan. Ia pun tidak melihat sesuatu di istana yang berhubungan dengan cincin kerajaan itu. Ia tidak melihat perubahan apa pun terjadi di bangsal pusaka. Para prajurit yang bertugas untuk menjaga bangsal pusaka itu, bertugas sebagaimana biasanya tanpa menunjukkan bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Bahkan ketika ia melihat Pangeran Benawa dengan Raden Sutawijaya melintas di halaman dalam istana, keduanya sama sekali tidak menghiraukannya meskipun ia yakin bahwa Pangeran Benawa itu telah melihatnya ditempat tugasnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah mimpi buruk?” pertanyaan itu telah bergejolak didalam hatinya. Kepala Ki Tumenggung menjadi pening, sehingga seorang kawannya bertugas bertanya, “Apakah Ki Tumenggung Sarpa Biwada sedang sakit. Wajah Ki Tumenggung nampak pucat. Ki Tumenggung nampak sangat gelisah”
Dengan gagap Ki Tumenggung itu pun menjawab, “Tidak. Aku tidak apa-apa”
Kawannya mengangguk kecil. Tetapi kawannya yang lain berkata, “Baju Ki Tumenggung basah oleh keringat. Tetapi tangan Ki Tumenggung terasa begitu dinginnya”
Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu pun menyahut, “Aku tidak apa-apa”
Kawannya itu memang meraba tangan Ki Tumenggung yang basah oleh keringat, tetapi terasa begitu dinginnya.
Hari itu memang tidak ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi justru karena itu, Ki Tumenggung menjadi heran. Bahkan kegelisahannya menjadi semakin menekan jantungnya.
Ketika sudah waktunya pulang, maka Ki Tumenggung pun meninggalkan tempat tugasnya. Hari itu rasa-rasanya tidak ada yang dapat dikerjakan di tempat tugasnya. Tetapi demikian ia keluar dari pintu gerbang istana, langkahnya tertegun. Ia melihat Harya Wisaka berdiri bersama dua orang pengawalnya.
Beberapa orang kawannya mengangguk hormat. Tetapi mereka tidak berhenti. Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada sajalah yang berhenti untuk menemuinya.
“Benawa memang gila” geram Harya Wisaka.
“Kenapa?”
“Agaknya Pangeran Benawa itu belum melaporkan kepada Kangjeng Sultan bahwa cincin itu telah berada ditangannya”
Ki Tumenggung mengangguk-angguk.
“Ternyata Kangjeng Sultan sama sekali tidak berbuat sesuatu. Bahkan tidak ada gerak apa pun diistana yang memberikan pertanda bahwa cincin kerajaan itu sudah kembali”
“Ya. Tidak seorang pun menyebutnya. Para prajurit di bangsal pusaka pun tidak menunjukkan peningkatan penjagaan atau menunjukkan perubahan apapun. Segalanya berjalan seperti biasa. Kedatangan Pangeran itu kembali dari pengemba-raannya pun sama sekali tidak mendapat sambutan apa-apa atau barangkali Pangeran Benawa sengaja untuk menghindari sambutan itu”
"Menghadapi orang seperti Benawa kita memang harus berhati-hati sekali. Ia cerdik dan tangkas bergerak. Aku masih menunggu kesempatan untuk benar-benar menantangnya berlomba ketangkasan naik kuda”
“Ada yang lebih penting dari berlomba naik kuda” desis Ki Tumenggung.
“Ya” sahut Harya Wisaka.
“Aku juga ingin tahu, apakah yang terjadi dengan Paksi”
“Kau harus bergerak untuk megetahuinya. Mungkin anakmu itu sekarang sudah mati dipancung oleh Pangeran Benawa”
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika benar, maka istriku akan dapat menjadi pingsan mendengarnya”
“Dan kau sendiri?”
“Entahlah” jawab Ki Tumenggung.
Harya Wisaka menepuk bahu Ki Tumenggung sambil berkata, “Nampaknya kau tidak sayang kepada anak-anakmu. Jika kau bekerja keras untuk meraih masa depan yang lebih baik, untuk apa sebenarnya hal itu kau lakukan jika tidak untuk anak-anakmu”
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Harya Wisaka pun berkata, “Mungkin aku adalah orang yang paling jahanam di istana ini dengan rencana-rencanaku yang barangkali dianggap gila oleh orang lain. Tetapi semuanya itu aku lakukan bagi anak keturunanku”
Ki Tumenggung sama sekali tidak menjawab. Sementara itu Harya Wisaka pun berkala, “Letakkan harapan masa depanmu padamu dan keturunanmu. Maka kau akan berjuang lebih keras lagi. Kita sudah terlanjur basah. Kita tidak dapat melangkah kembali”
Ki Tumenggung mengangguk. Katanya, “Tetapi tingkah laku Pangeran Benawa dapat membuat aku menjadi gila”
“Kita bukan anak-anak cengeng Ki Tumenggung. Kau pernah berada dalam jajaran keprajuritan sebelum kau dipindahkan kejabatanmu yang sekarang. Bahkan mungkin suatu saat Ki Tumenggung akan kembali bertugas diantara para prajurit. Jiwa Ki Tumenggung sudah ditempa oleh pengalaman Ki Tumenggung yang luas.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berusaha untuk tidak menjadi gila”
Harya Wisaka tertawa. Katanya, “Jangan terlalu tegang menghadapi permainan Benawa”
Ki Tumenggung mengangguk.
“Setiap saat, aku akan menghubungimu, Ki Tumenggung. Ada beberapa orang kawan kita memberikan beberapa keterangan tentang usaha mereka sebelum Pangeran Benawa kembali ke istana”
“Ceritanya tentu masih sama saja” jawab Ki Tumenggung.
“Mungkin. Tetapi kita sebaiknya mendengar mereka. Ternyata kita terlanjur mempunyai banyak lawan”
Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Siapakah sebenarnya yang disebut oleh Pangeran Benawa itu sebagai nujum istana? Sudah berpuluh tahun aku mengabdi, aku belum pernah bertemu, bahkan melihat, orang brewok yang disebut nujum istana itu”
Harya Wisaka pun tertawa. Katanya, “Tentu salah satu jenis permainan Pangeran Benawa”
“Ya. Agaknya memang demikian. Permainan Pangeran Benawa tentu tidak akan ada habisnya”
Ki Tumenggung pun kemudian telah meninggalkan Harya Wisaka yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Harya Wisaka itu pun telah masuk kedalam istana pula.
Hari itu, Ki Tumenggung masih saja dicengkam oleh kegelisahan. Rasa-rasanya hubungannya dengan seluruh keluarganya telah terputus. Ketika makan sudah disiapkan, Ki Tumenggung sama sekali tidak mau menyentuhnya.
Nyi Tumenggung dan kedua anaknya pun berusaha untuk tidak menimbulkan persoalan dirumah. Mereka sadar, bahwa setiap saat jantung Ki Tumenggung itu akan dapat meledak.
Di hari berikutnya, adalah hari pasowanan. Kangjeng Sultan akan hadir dipaseban. Para Pangeran, Sentana, Nayaka Praja dan orang-orang terdekat dilingkungan istana serta para pejabat tinggi istana harus menghadap.
Betapapun kegelisahan mencengkam jiwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada, namun ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya Jika ia tidak dapat menghadap di hari pasowanan itu, maka akan dapat timbul prasangka buruk atas dirinya. Apalagi karena baru saja Pangeran Benawa mengambil cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu dari rumahnya.
Pada saatnya, maka Kangjeng Sultan pun telah hadir dipaseban. Seperti biasanya, Kangjeng Sultan mendengarkan beberapa laporan serta berbicara langsung dengan para pejabat tinggi istana. Para pengeran serta para sentana. Namun seperti biasa hanya beberapa orang sajalah yang berbicara dalam paseban yang dilakukan setiap selapan hari sekali. Paseban yang nampaknya lebih banyak diselenggarakan sekedar memenuhi tatanan. Sedangkan pembicaraan-pembicaraan yang sebenarnya justru lebih banyak dilakukan dalam pasowanan khusus serta pertemuan-pertemuan di lingkungan istana yang lebih kecil lingkupnya.
Beberapa orang yang hadir dalam paseban agung itu justru telah mengantuk. Sedangkan Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih banyak merenung tentang dirinya sendiri.
Beberapa orang yang berbicara di paseban agung itu adalah para pejabat tinggi yang lebih banyak memberikan laporan tentang keadaan rakyat Pajang. Rakyat Pajang yang hidup dalam suasana yang aman, tenteram dan damai. Tidak ada seorang pun yang merasa tidak puas. Kehidupan yang baik serta kesejahteraan yang tinggi membuat Pajang dikagumi oleh orang-orang manca negara yang sempat berkunjung ke Pajang.
Pangeran Benawa yang ikut mendengarkan laporan-laporan itu mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali ia mendengar laporan betapa Pajang dikagumi orang dari manca negara, jantungnya menjadi berdebar-debar.
“Apa yang dikagumi?” bertanya Pangeran Benawa didalam hatinya.
Tetapi Pangeran Benawa melihat Kangjeng Sultan mengangguk-angguk puas. Semua laporan sangat menyenangkan hatinya serta memberikan kebanggan kepadanya. Beberapa saat kemudian, para pejabat tinggi yang berkewajiban memberikan laporan telah selesai. Orang-orang yang terkantuk-kantuk justru terbangun. Mereka berharap bahwa paseban akan segera berakhir, sehingga mereka dapat keluar dari bangsal yang terasa menjadi semakin panas itu.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang duduk dibaris-baris belakang melihat Harya Wisaka duduk dengan kepala tunduk. Sebenarnyalah Harya Wisaka menunggu, apakah dalam paseban agung itu akan disebut-sebut pula tentang cincin kerajaan yang hilang itu.
Dalam suasana yang lesu itu, tiba-tiba beberapa orang terguncang jantungnya. Kangjeng Sultan sendiri kemudian berkata, “Aku mengucapkan lerima-kasih atas kesetiaan kalian. Pekerjaan yang baik hendaknya kalian teruskan, sedangkan yang tidak baik, dapat kalian tinggalkan. Dalam kesempatan ini, aku, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang bertahta di Pajang, ingin memberikan penghargaan dan ganjaran kepada seorang anak muda yang telah berjasa kepada keluarga istana yang juga berarti berjasa bagi Pajang. Anak muda itu bernama Paksi”
Orang-orang yang semula acuh tidak acuh saja, tiba-tiba seperti terbangun dari tidur. Apalagi Ki Tumenggung Sarpa Biwada Ki Tumenggung itu terkejut bukan kepalang. Paksi telah mendapat penghargaan dan ganjaran.
“Tentu karena ia dapat membawa kembali cincin kerajaan itu” berkata Ki Tumenggung didalam hati, “kenapa bukan aku saja yang mengaku telah membawa cincin itu kembali setelah aku tidak mempunyai pilihan lain”
Namun dahinya pun kemudian berkerut ketika Kangjeng Sultan itu melanjutkan, “Anak muda yang bernama Paksi Pamekas itu telah membantu dan bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan puteraku, Pangeran Benawa yang mengalami kecelakaan yang berat ketika puteraku itu sedang mengembara melihat-lihat kenyataan hidup di padesan”
Jantung Ki Tumenggung Sarpa Biwada seakan-akan hampir meledak. Rasa-rasanya ia ingin berteriak mengatakan bahwa ialah yang telah membawa cincin kerajaan kembali ke Pajang.
Dalam pada itu, Kangjeng Sultan pun berkata, “Pangeran Benawa, Katakan apa yang telah terjadi atasmu”
“Hamba ayahanda” jawab Pangeran Benawa, “mohon perkenan ayahanda”
“Katakan”
Pangcran Benawa itu pun kemudian berceritera bahwa ia telah tergelincir di jurang yang dalam di kaki Gunung Merapi, “Untunglah bahwa anak muda yang bernama Paksi Pamekas dengan berani menuruni tebing jurang yang terjal itu. Ia pun mengalami kecelakaan. Tetapi keadaannya jauh lebih baik dari kedaanku sendiri, sehingga ia sempat membawa aku pergi dari jurang itu dengan mengambil arah perjalanan yang lain. Ia masih sempat mencari air, menitikkan dibibirku. Memampatkan darah yang mengalir dari luka-lukaku dengan daun metir dan sawang kemladean yang sempat dicarinya disemak-semak”
Mereka yang ada di paseban itu pun mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Namun Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwadalah yang menjadi sangat gelisah.
“Permainan gila” geram Harya Wisaka, “cincin itu agaknya masih disembunyikannya.
Namun kegelisahaan Harya Wisaka itu memuncak ketika ia melihat Pangeran Benawa itu menyembah ayahandanya. Cincin bermata tiga itu dikenakannya di jari-jari manisnya
“Apakah aku yang sudah menjadi gila?” bertanya Harya Wisaka kepada dirinya sendiri.
Sebagaimana Harya Wisaka, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun menjadi sangat bingung menanggapi peristiwa yang terjadi itu. Ia tidak tahu pasti, apa yang sedang dihadapinya itu. Namun sebenarnyalah yang mereka lihat, Paksi telah dipanggil untuk menghadap dan menerima langsung ganjaran dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
“Karena sifatnya sebagai seorang kesatria sejati yang bersedia berkorban untuk keselamatan orang lain tanpa pamrih, maka kepada Paksi Pamekas telah aku anugerahkan sebilah keris dengan sekampil uang. Aku tahu, bahwa kau tidak mengharapkannya. Tetapi aku titahkan kepadamu untuk menerimanya. Kau tidak dapat menolak ganjaran dari seorang raja, karena ganjaran itu akan mendatangkan keberuntungan yang berlipat ganda bagimu”
Paksi menerima ganjaran itu tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia pun tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya, sehingga ia justru mendapat ganjaran.
Namun Harya Wisaka itu pun berkata didalam hatinya, “Ternyata Pangeran Benawa sudah mempermainkan ayahandanya. Jika saja Kangjeng Sultan mengetahui bahwa ia termasuk sasaran permainan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan sangat marah”
Tetapi Harya Wisaka tidak melihat jalan untuk menyampaikan kepada Kangjeng Sultan bahwa Kangjeng Sultan itu sudah dipermainkan oleh puteranya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun berkata didalam hatinya, “Tentu laporan Pangeran Benawa kepada Kangjeng Sultan tidak sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Pangeran Benawa merasa sangat berterima-kasih bahwa cincin itu telah kembali kepadanya atau Paksi benar-benar telah menolongnya”
Jantung Ki Tumenggung itu pun terasa berdegup semakin cepat. Bahkan ia pun mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Apakah kedatangan Paksi membawa cincin itu memang satu permainan bersama antara Paksi dan Pangeran Benawa?”
Tetapi Ki Tumenggung pun bertanya kepada diri sendiri, “Tetapi dimana mereka saling mengenal?”
Tetapi baik Ki Tumenggung Sarpa Biwada mau pun Harya Wisaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Setelah menyerahkan ganjaran kepada Paksi, maka Kangjeng Sultanpun
menutup paseban agung itu.
Namun Kangjeng Sultan itu sempat berkata kepada mereka yang datang menghadap, “Ayah Paksi, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tentu ikut merasa bahagia pula hari ini bahwa anak laki-lakinya telah mendapat ganjaran. Tetapi lebih dari itu, adalah satu kebanggan orang tua bahwa anaknya memiliki sifat seorang kesatria sejati”
Beberapa orang telah berpaling kearah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Memang ada sepercik kebanggaan. Tetapi kebanggaan itu segera larut. Ketika ia mengatakan kepada Pangeran Benawa bahwa Paksi lah yang telah membawa cincin kerajaan itu pulang, justru ia berharap bahwa anaknya akan mendapat hukuman. Ia dapat dituduh mencuri cincin yang hilang itu. Pada saat Pangeran Benawa datang untuk mengambil cincin itu, Paksi telah mencoba untuk ingkar.
Tetapi yang terjadi justru Paksi mendapat penghargaan sebagai seorang kesatria serta ganjaran sebilah keris bersama wrangkanya serta sejumlah uang.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, paseban agung itu telah ditutup. Setelah Kangjeng Sultan meninggalkan bangsal, mereka yang menghadap pun segera meninggalakan paseban itu pula. Beberapa orang sempat mengucapkan selamat kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun ketika mereka juga ingin mengucapkan selamat kepada Paksi, ternyata Paksi sudah tidak ada di paseban.
Dalam pada itu, Harya Wisaka pun telah mendekati Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Dengan nada berat Harya Wisaka itu pun berdesis, “Satu permainan yang menarik. Apakah kau terlibat dalam permainan ini?”
“Tidak” jawab Ki Tumenggung, “Aku justru menjadi salah seorang yang telah dipermainkan”
“Tetapi sikapmu terhadap anak laki-lakimu aneh” Ki Tumenggung memandang Harya Wisaka dengan kerut didahi. Namun Harya Wisaka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
Ki Tumenggung pun kemudian meninggalkan istana itu dengan hati yang semakin risau. Ia tahu, bahwa Paksi tentu akan pulang dengan membawa ganjaran yang telah diterima. Tetapi Ketika Ki Tumenggung itu sampai dirumah, ia masih belum melihat Paksi. Agaknya Paksi itu telah dibawa Pangeran Benawa ke Kasatrian dan berada disana beberapa lama.
Sebenarnyalah Paksi memang berada di Kasatrian. Di Kasatrian Paksi bukan saja berbincang dengan Ki Marta Brewok dan Pangeran Benawa, tetapi hadir juga di kasatrian itu Raden Sutawijaya.
Kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Juga permainannya tentang cincin kerajaan yang dibawanya pergi itu.
“Sebaiknya Kakangmas Sutawijaya sajalah yang membawa cincin itu. Pada suatu saat aku akan dapat mengalami kesulitan jika aku yang membawanya”
“Cincin itu cincinmu adimas” jawab Raden Sutawijaya.
“Tidak. Aku belum pernah mendapat limpahan wewenang dari ayahanda”
“Bukankah itu hanya menunggu saatnya saja?” desis Raden Sutawijaya. Katanya kemudian, “Tetapi kita tahu, bahwa banyak orang yang memburu cincin itu. Antara lain adalah paman Harya Wisaka sendiri. Kita berdua mengetahui akan hal itu”
“Ya, kakangmas. Ia memburuaku sampai ke kaki Gunung Merapi. Beruntunglah bahwa aku masih juga sempat pulang”
“Tentu bukan hanya paman Harya Wisaka yang telah memburu adimas”
“Benar kakangmas. Beberapa perguruan telah berusaha untuk mencari aku dan sudah jemu untuk diperas agar aku menyerahkan cincin itu”
Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Karena itu, adimas jangan pergi kemana-mana. Sebaiknya untuk sementara adimas tetap saja berada di istana”
Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya, “Aku merasa seperti seekor burung didalam sangkar. Aku tidak betah, kakangmas”
“Bagaimana jika adimas mohon kepada ayahanda, agar cincin itu disimpan di bangsal pusaka saja seperti sebelum cincin itu dinyatakan hilang”
“Aku sudah menghadap ayahanda dan mengatakan bahwa cincin itu sudah aku ketemukan. Tetapi ayahanda nampaknya tidak begitu mempedulikan”
“Apa kata ayahanda?”
“Ayahanda tidak begitu menanggapinya. Menurut ayahanda, memang akulah yang membawa cincin itu. Ayahanda justru memerintahkan agar aku menyimpan cincin itu baik-baik”
“Nah, bukankah itu sudah satu limpahan wewenang kepada adimas, bahwa cincin itu milik adimas?”
“Tidak kakangmas. Ada bedanya. Ayahanda berkata ‘Bawa saja cincin itu dahulu”
Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Jangan terlalu risau. Bawa saja cincin itu. Jika cincin itu kau letakkan di bangsal pusaka, maka cincin itu akan benar-benar hilang. Mungkin diambil seseorang dengan kekerasan. Tetapi jika cincin itu ada di jari adimas Pangeran Benawa, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengambilnya”
“Aku justru akan menjadi sasaran orang-orang yang mencari cincin itu”
“Sudah aku katakan, jangan meninggalkan kasatrian. Setidak-tidaknya untuk sementara”
“Tetapi siapakah sebenarnya yang meniup-niupkan berita bahwa siapa yang memiliki cincin ini akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini?”
“Siapa pun yang mula-mula meniupkan berita itu, namun sekarang setiap orang sudah mempercayainya”
“Sementara ayahanda sama sekali tidak menghiraukannya. Seharusnya ayahanda menyadari, bahwa hal ini akan dapat mengguncang ketenangan Pajang”
“Aku sudah mencoba menjelaskan. Tetapi ayahanda menganggap bahwa persoalannya adalah persoalan kecil saja. Ayahanda minta aku tidak terlalu memikirkannya” Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “ Jika saja ayahanda tahu apa yang aku lihat. Orang-orang itu memburu Pangeran Benawa seperti seorang sedang memburu tupai”
“Sekali lagi aku nasehatkan, jangan meninggalkan kasatrian untuk sementara”
“Bukan sekedar tentang aku sendiri, kakangmas. Tetapi tentang orang-orang yang ingin memiliki cincin bermata tiga itu. Beberapa perguruan telah mengerahkan murid-muridnya. Yang satu berbenturan dengan yang lain. Mereka saling mencurigai dan bahkan benturan-benturan kekerasan sudah sering ter-jadi”
“Mulai hari ini akan tersebar berita bahwa Pangeran Benawa sudah berada di istana. Dengan demikian mereka akan berhenti bertengkar. Tidak ada lagi yang dipertengkarkan”
“Tetapi paman Harya Wisaka?”
“Nah, kita sekarang tinggal mengamati paman Harya Wisaka. Kau harus berhati-hati terhadap paman Harya Wisaka yang kita tahu, sangat licik. Sebenarnya paman Harya Wisaka adalah seorang yang pintar, ia banyak memilki pengetahuan dan akal. Tetapi kepandaiannya dan kecerdikannya telah disalah gunakan”
“Kakangmas. Ki Tumenggung Sarpa Biwada agaknya telah bekerja-sama dengan paman Harya Wisaka”
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Paksi, maka dilihatnya wajah Paksi yang tegang.
“Maaf Paksi” berkata Pangeran Benawa, “aku tidak sedang mengada-ada. Tetapi bahwa Harya Wisaka datang ke rumahmu pada saat cincin itu kau serahkan kepada ayahmu, telah mengundang kecurigaanku”
Paksi mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Hamba dapat mengerti, Pangeran”
“Karena itu, aku ingin minta kau pulang”
Paksi mengangguk lagi sambil menjawab, “Hamba Pangeran”
“Sebenarnya aku merasa berat untuk membebani tugas yang aku sendiri merasa ragu, apakah kau mampu memikulnya”
Paksi menundukkan kepalanya. Ia sudah menduga, tugas apakah yang akan dibebankan kepadanya.
“Paksi” berkata Pangeran Benawa selanjurnya, “aku ingin minta kepadamu untuk mengamati hubungan antara ayahmu dengan Harya Wisaka”
Paksi tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat baginya. Bagaimanapun juga, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu adalah ayahnya, apakah ia akan dapat mencegahnya?
Raden Sutawijaya agaknya dapat membaca gejolak perasaan Paksi. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kau tidak usah bertindak sendiri, Paksi. Kau hanya berkewajiban untuk melaporkannya kepada adimas Pangeran Benawa”
Paksi mengangguk. Tetapi di wajahnya memancar keragu-raguan yang mencengkam.
“Paksi” berkata Ki Marta Brewok, “pengawasan itu sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada Harya Wisaka. Bukan kepada ayahmu, meskipun pelaksanaannya memang harus dilakukan kepada kedua-duanya. Yang berniat buruk adalah Harya Wisaka. Ayahmu hanya terlibat saja. Meskipun hal itu tidak dapat terjadi jika ayahmu tidak bersedia bekerja-sama”
Paksi menarik nafas panjang. Terdengar ia pun berdesis, “Aku mengerti, guru”
“Nah, jika demikian, aku berharap bahwa kau dapat melakukannya dengan baik” berkata Pangeran Benawa, “namun kau harus menyadari, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu tinggi dan tangkas berpikir. Karena itu kau harus berhati-hati”
“Hamba Pangeran” Paksi mengangguk.
“Dalam keadaan tertentu, Harya Wisaka dapat berbuat sangat kejam” berkata Pangeran Benawa kemudian, “kau telah melihatnya sendiri, apa yang pernah dilakukannya”
“Hamba Pangeran”
“Nah, dengan demikian, kau tidak saja harus mengamati hubungan ayahmu dengan Harya Wisaka. Tetapi mungkin sekali kau harus bertindak dalam keadaan yang sangat mendesak. Jika ayahmu membuat Harya Wisaka kecewa, maka Harya Wisaka tentu tidak akan segan-segan menyingkirkannya” berkata Ki Marta Brewok kemudian.
“Ya, guru”
“Berhati-hatilah” pesan Pangeran Benawa.
Paksi mengangguk lagi. Tetapi diwajahnya masih nampak keragu-raguan. Bahkan kemudian dengan nada berat ia pun bertanya, “Apa yang harus hamba lakukan, jika hamba harus pergi lagi dari rumah? Hamba tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh ayah. Kadang-kadang hamba merasa bahwa rumah itu bukan lagi rumahku”
Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya -Ayahmu memang aneh, Paksi. Tetapi untuk sementara kita berharap bahwa kau tidak akan pergi dari rumahmu”
“Hubungan yang membingungkan” desis Raden Sutawijaya, “namun bagaimanapun juga, aku kagum akan sikapmu. Apa pun yang dilakukan oleh ayahmu terhadapmu, kau tetap bersikap sebagai seorang anak yang baik”
Paksi tidak menjawab. Memang kadang-kadang timbul persoalan didalam dirinya, apakah ia harus bersikap lain terhadap ayahnya. Namun sejak kecil Paksi sudah diajar untuk mematuhi segala perintah ayahnya itu. Meskipun kadang-kadang ia tidak tahu apakah perintah itu wajar atau tidak. Tetapi ayahnya adalah seorang raja dirumahnya. Apa pun yang dilakukan tidak seorang pun yang dapat mencegahnya. Sedangkan apa yang dikatakan adalah kebenaran bagi seisi rumahnya.
“Paksi” berkata Ki Marta Brewok kemudian, “apa pun yang pernah dilakukan oleh ayahmu, ia tetap ayahmu. Kau harus patuh kepadanya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak dapat menyatakan pendapatmu. Tentu saja sekedar masukan bagi ayahmu. Keputusan terakhir memang ada di tangan ayahmu. Meskipun demikian setelah kau dewasa penuh, maka kau pun dapat mendengarkan kata nuranimu sendiri. Kau dapat berpijak pada landasan keyakinanmu untuk menanggapi setiap persoalan yang timbul. Namun semua itu tidak akan dapat menghapuskan hubungan antara anak dan ayah pada tempatnya masing-masing”
Paksi mengangguk-angguk. Sementara Pangeran Benawa pun berkata, “Pulanglah Paksi. Ibumu tentu menjadi sangat gelisah menunggumu. Kita tidak tahu, apakah ayahmu sempat menceriterakan bahwa di paseban, kau justru telah mendapat ganjaran dari Kangjeng Sultan. Bukan hukum gantung atau hukum pancung. Sebenarnyalah malam itu aku juga menjadi bingung. Aku tidak mengira bahwa tiba-tiba ayahmu menyebut namamu. Bahkan ayahmu telah menunjuk bahwa kaulah yang telah membawa cincin itu pulang”
Paksi mengangguk dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimana dengan ganjaran uang yang sekampil ini? Keris yang hamba terima merupakan ganjaran dan sekaligus penghargaan yang tidak ternilai bagi hamba. Tetapi uang itu justru membingungkan hamba”
“Kenapa kau menjadi bingung? uang itu adalah uangmu”
“Tetapi hamba tidak melakukan apa-apa. Apalagi menyelamatkan Pangeran”
“Paksi” sahut Pangeran Benawa, “yang kau lakukan jauh lebih besar dari sekedar menolong aku yang terperosok kedalam jurang dengan memeprtaruhkan nyawamu. Jauh lebih besar dari itu. Tanpa kehadiranmu bersamaku, aku sudah menjadi lumat oleh orang-orang yang memburu cincin itu”
“Pada kenyataannya justru Pangeranlah yang telah menyelamatkan hamba”
“Tidak. Atau katakanlah, kita sudah bekerja bersama. Kau tidak usah membayangkan bahwa jurang itu adalah sebuah lekuk yang dalam dan berdinding batu-batu padas yang runcing. Tetapi jurang dapat berujud apa saja, sementara aku terperosok kedalamnya”
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Uang didalam kampil itu terlalu banyak”
“Paksi” berkata Raden Sutawijaya, “Pangeran Benawa adalah putera seorang Raja. Kau tahu, berapa besarnya kekayaan seorang raja. Nah, kau akan tahu bahwa uang didalam kampil itu tidak berarti apa-apa bagi seorang Raja”
“Tetapi bagi hamba?”
“Juga tidak seberapa. Bukan berarti upahmu selama kau bersama-sama dengan adimas Pangeran Benawa. Tetapi sekedar ucapan terima-kasih dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya”
Paksi menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa berkata, “Paksi, selain sebilah keris sebagai penghargaan yang diberikan karena sifat kesatriamu, sekampil uang sekedar pernyataan terima-kasih, maka aku juga ingin memberikan seekor kuda yang baik buatmu”
“Seekor kuda?” bertanya Paksi dengan nada tinggi.
“Ya. Aku tahu dirumahmu sudah ada beberapa ekor kuda, Tetapi kuda-kuda itu adalah milik ayahmu. Sekarang kau sendiri akan memiliki seekor kuda pula”
Paksi memandang Pangeran Benawa dengan sinar mata yang berkilat-kilat. Sebenarnyalah ia memang ingin memiliki seekor kuda. Diam-diam ia memang sering naik kuda milik ayahnya jika ayahnya tidak ada dirumah. Tetapi jika ayahnya mengetahuinya, maka ayahnya akan selalu menjadi sangat marah. Bahkan Paksi pernah mendapat hukuman karena ia membawa seekor kuda berkeliling kota. Untunglah adik-adiknya tidak pernah melaporkannya kepada ayahnya jika Paksi setiap kali membawa kudanya keluar. Demikian pula para pembantu dirumahnya. Tetapi memang pernah terjadi, ayahnya sendiri secara kebetulan melihatnya langsung ketika ayahnya sedang bertugas. Meskipun demikian, sekali-sekali memang ayahnya memberinya kesempatan untuk berkeliling kota dialas punggung kuda, meskipun jarang sekali terjadi. Bahkan kadang-kadang bersama adik laki-lakinya.
Hari itu, Paksi telah diperkenankan pulang dengan naik seekor kuda yang besar dan tegar berwarna kelabu. Kuda yang sangat baik menurut penilaian Paksi.
“Terima-kasih Pangeran” berkata Paksi berulang kali.
Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi sambil berkata, “Paksi. Masih ada kewajibanmu. Kau masih harus menuntaskan ilmumu, agar kau tidak dapat lagi dihanyutkan oleh ilmu cleret Tahun itu”
Paksi mengerutkan dahinya, sementara Ki Marta Brewok berkata selanjurnya, “Kau jngat, bahwa kau pernah diangkat oleh angin pusaran?”
Paksi mengangguk kecil.
Namun kemudian jantungnya telah dicengkam oleh kegelisahan sebelum ia memasuki halaman rumahnya.....